Jumat, 22 April 2011

Only You (2 of 3)

Tara POV

Beberapa minggu setelah pertemuanku dengan Lee Sungmin...

“Nopi ollaga…sesangeul da gajyeobwa, never back it up back it up…”

Lagu Lupin milik girlband Kara itu tiba-tiba terdengar keras di dalam kamarku. Astaga, siapa yang menelepon tengah malam begini?? Aku membuka perlahan kelopak mataku yang sangat amat berat. Kulihat jam weker yang tengah berdiri manis di meja belajarku. Jam berapa ini? Ha? Jam satu pagi. Apa yang ada dipikiran orang ini sampai-sampai menelepon tengah malam. Dengan malas aku langsung menekan tombol berwarna hijau dan menjawab teleponnya.

“Yeoboseyo?”

“Halo gadis aneh yang malas…”

“Siapa ini?”

“Kau tidak tahu? Aku ini adalah artis pujaanmu,”

Aku tersentak dan langsung bangun dari tempat tidur. Ternyata orang itu, Lee Sungmin! Mau apa dia?

“Mau apa kau telepon malam-malam begini? Kau tak tahu aku sudah berada di alam mimpi??” cerocosku tanpa jeda. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari sebrang.

“Memangnya apa mimpimu? Biar kutebak…hmm, aku tahu! Kau memimpikanku kan???”

Wajahku langsung bersemu merah. Memang benar, tadi aku sempat memimpikan dirinya. Tapi yang namanya perempuan, pasti malu untuk mengakuinya.

“Siapa bilang?? Kau itu terlalu percaya diri sekali!” elakku. Untung saja Lee Sungmin tidak berada di depanku sekarang, kalau dia benar-benar di depanku, pasti dia akan tertawa terbahak-bahak begitu melihat wajahku yang konyol ini.

“Aku hanya bercanda! Kau itu sama seperti Hyun-Hwa, tidak bisa diajak bercanda!”

“Lebih baik kau cari saja korban yang lain,”

“Kau ini sebenarnya penggemarku atau bukan? seorang penggemar tidak pernah berlaku seperti ini pada artis pujaannya. Bahkan kau tidak pernah sekalipun memanggilku oppa!”

“Lho? Memangnya aku harus memanggilmu oppa? Tidak juga bukan?”

“Terserah kau saja, aku lelah bertengkar denganmu. Hei, coba kau keluar dari kamarmu dan pergi ke balkon,” suruhnya. Alisku terangkat.

“Ada apa?”

“Pokoknya ikuti saja kata-kataku,”

Aku segera mengambil jaket dari lemari dan memakainya. Kemudian aku berjalan menuju balkon kamarku. Aku melihat kearah atas, kanan, dan kiri. Tidak ada apa-apa di luar. Hanya udara dingin yang mulai menusuk tulang.

“Tidak ada apa-apa! Kau mau mengerjaiku ya?” seruku.

“Dasar bodoh! Lihatlah kebawah!”

Aku melihat kearah bawah. Seorang pria sudah berdiri manis di depan mobil sambil memegang ponselnya. Dialah Lee Sungmin. Apa yang dia lakukan malam-malam begini di depan apartemenku? Aku kembali menempelkan ponsel ke telinga kanan. Tidak mungkin juga aku berteriak dari atas, semua orang akan melemparku dengan sandal karena melakukan keributan.

“Mau apa kau kemari?” tanyaku.

“Hanya ingin menyapa. Hallo!” Serunya di telepon sambil melambai-lambaikan tangannya padaku dari bawah. Apa pria ini sudah gila? Wajah saja tampan, tapi sepertinya dia tidak punya otak. Oh, apa yang kau pikirkan Tara? Kenapa kau malah mengatakan dia tak punya otak? Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku berpikiran seperti itu tentang pria yang aku sukai. Aku langsung berlari keluar apartemen dan menemuinya di bawah.

*

Sungmin POV

Satu hal lagi yang tidak biasa kulakukan. Bahkan bisa disebut sebagai hal tergila yang pernah aku lakukan. Mengganggu seorang gadis yang sedang tertidur lelap di tengah malam yang dingin seperti ini. Dia pasti akan menganggapku gila atau kurang kerjaan.

Tara terlihat berlari-lari dari dalam apartemen, keluar menghampiriku. Seulas senyum tipis muncul di wajahku.

“Kau ini gila? Mau apa kau tengah malam seperti ini?” gerutunya. Sudah kubilang, dia menganggapku gila.

“Aku hanya ingin menyapamu, hallo!” sekali lagi aku mengucapkannya.

“Kalau kau hanya ingin mengerjaiku, lebih baik kau pulang sekarang atau aku akan berteriak bahwa ada seorang penguntit yang datang,” ancamnya.

“Memangnya wajahku terlihat seperti penguntit? Tidak ada penguntit setampan aku!”

“Lagi-lagi kau terlalu percaya diri dan selalu menganggap dirimu tampan, sudahlah, pulang sana, aku mau tidur!” Tara langsung berjalan meninggalkanku.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu! Apa aku salah?” Langkahnya terhenti, dan kemudian berbalik lagi kearahku.

“Bertemu denganku? Memangnya kau pikir kita tidak pernah bertemu selama sepuluh tahun?”

‘Itu karena aku meridukanmu…’ batinku.

“Kenapa kau jadi emosi seperti itu? Sudah kubilang aku hanya ingin bertemu, aku baru saja pulang dari syuting video klip, badanku terasa sangat sakit, dan karena responmu seperti itu badanku jadi tambah sakit mendengarnya!”

“Syuting video klip? Kau ini memang bodoh, harusnya kau langsung pulang, bukannya datang ke sini,” keluhnya.

“Tolong temani aku sebentar disini saja…”

*

Tara POV

“Tolong temani aku sebentar disini saja…”

Aku berpikir sejenak. Akhirnya aku mengangguk dan menuruti permintaannya. Aku mengajaknya duduk di bangku taman depan apartemenku.

“HATCHII!!”

“Kau benar-benar bodoh! Jaketmu kemana? Hari ini sangat dingin! Kau harusnya memakai jaket!”

“Ada di dalam mobil, aku malas berjalan,” gumamnya enteng.

“Kau ini mau sakit? Biar aku ambilkan!” aku langsung berlari menuju mobilnya dan mengambil jaket juga syal yang berada bangku belakang.

Aku memakaikan jaket juga syalnya. Dia memang tidak bisa diatur, selalu seenaknya sendiri.

“Kau bilang sendiri padaku, bahwa kita harus pikirkan kesehatan. Kau ini tidak konsisten! Jika kau sakit, jadwal kerjamu akan hancur berantakan dan kau akan merepotkan Hyun-Hwa-ssi, Sungmin-ssi!”

“Ya, ya aku tahu…”

“Lain kali, kau harus langsung pulang! Jangan seperti ini lagi! Kau ini merepotkan orang lain saja! menyebalkan!” gerutuku.

“Kau ini seperti ibuku! Bahkan lebih galak!”

“Pria seperti kau memang harus mendapat ibu yang galak!”

“Tunggu…” selanya. Aku terdiam dan menatapnya. Dia menatapku dengan wajah terkejut.

“Ada apa?”

“Hidungmu…” hidungku? Aku meraba-raba hidungku. Begitu kulihat telapak tangan kananku, darah segar telah menempel di telapak tanganku.

“Kau mimisan…” Sungmin langsung terlihat panik, dan segera mengambil saputangan dari dalam saku kemejanya.

“Aku tidak apa-apa, aku sudah biasa seperti ini!” seruku.

“Sini biar aku bersihkan!” Lee Sungmin membersihkan darah segar yang keluar dari hidungku dengan saputangannya. Dan aku tidak bisa mengelak lagi.

“Kenapa kau bisa mimisan?” tanyanya.

“Aku sudah biasa seperti ini, santai saja, kau tak usah khawatir! Aku sehat!” seruku sambil menirukan gaya seorang binaragawan.

“Kau pasti bohong, apa jangan-jangan kau mimisan karena sedang memikirkan hal-hal yang jorok?” tuduhnya. Mataku melotot.

“Sembarangan! Jangan asal bicara kau!”

“Aku hanya bercanda, aku hanya iseng! Tapi…kau yakin kau tidak apa-apa?” aku mengangguk mantap.

“Baiklah,” Lee Sungmin bangkit dari duduknya dan kemudian berdiri menghadapku. Sungmin-ssi terlihat sangat tinggi jika dibandingkan denganku. Tinggiku hanya sebahunya. Alhasil, aku harus mendongakkan kepala untuk melihatnya.

“Jaga dirimu dan juga kesehatanmu,” gumamnya sambil mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Wajahku bersemu merah.

“Terima kasih atas perhatiannya,” ucapku. Sungmin-ssi tersenyum padaku.

“Jika kau butuh sesuatu…atau mungkin kau membutuhkanku, hubungi aku saja, aku akan datang secepat yang aku bisa,” Lee Sungmin masuk kedalam mobilnya. Dan kemudian perlahan mulai menjauh dan tidak terlihat lagi.


*

Sungmin POV

Setelah bertemu dengannya, tenagaku seakan-akan muncul kembali. Aku bagaikan sebuah robot yang baru saja diisi ulang dengan sebuah baterai dan kembali hidup. Tara adalah baterai tersebut, baterai yang merupakan satu alasan utama untuk sebuah robot supaya tetap menyala. Tara adalah sumber energiku sekarang. Dengan mudah, dia mulai masuk menyusup kedalam kehidupanku yang selama ini sangat monoton. Datar. Tara telah mengubah segalanya. Aku sudah hidup selama 19 tahun dan baru kali ini aku merasakan perasaan abstrak yang hanya bisa dirasakan diri sendiri.

Dan satu hal yang ada dipikiranku sekarang, kenapa aku merasa Tara sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Sesuatu yang tidak bisa diceritakan secara langsung, tapi sangat terlihat di matanya. Ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

*

Tara POV

Toko Buku

Buku. Ya, buku adalah salah satu kesukaanku. Tak heran, jika sedang bosan atau sedang mempunyai waktu luang, kuhabiskan untuk membaca buku. Hari ini aku sedang mencari buku novel yang aku cari sejak kemarin. Aku telah mengitari rak buku hampir tiga kali, namun hasilnya nihil. Aku tak menemukannya.

Tiba-tiba penglihatanku menjadi gelap. Ini ada apa? Tidak mungkin jika aku hilang kesadaran, aku masih bisa gelagapan tak karuan seperti ini. Apa mungkin mati lampu? Ini kenapa gelap?

“Aduh! Ini kenapa??” tanyaku dengan gelagapan.

“Kenapa apanya?”

Aku tahu pemilik suara ini. Suara yang sangat familiar di telingaku setiap hari. Aku mendengus kesal. Lagi-lagi pria ini.

“Lee Sungmin…tolong buka mataku!” suruhku.

“Kalau aku tidak mau?”

“Sungmin-ssi…buka!”

“Tidak,”

“HEI, SEMUANYA!!! LIHAT! DIBELAKANGKU INI ADAAA…!! HMPPPH!!!” Karena tiba-tiba berteriak keras, Sungmin-ssi langsung membekap mulutku dengan tangan kanannya. Sekarang semua pengunjung sedang melihat kami dengan tatapan dasar-anak-muda-jaman-sekarang. Tangan kirinya langsung membetulkan kacamatanya supaya tidak terlihat sebagai ‘Lee Sungmin’.

“Ah, maksud gadis ini, ada…ada…ada serangga!! Ada serangga dibelakangnya! Dia ini pecinta serangga! Kalau melihat serangga langsung berteriak antusias seperti tadi, maafkan dia,” ucapnya.

Setelah para pengunjung menghiraukan kami berdua. Aku langsung tertawa sampai perutku sakit. Sungmin-ssi hanya menatapku dengan tatapan kesal.

“Kau ini…ingin membalasku, ya?”

“Darimana kau tahu aku berada disini?” tanyaku heran. Tentu saja heran. Aku tak pernah memberitahunya ataupun menghubunginya memberitahu bahwa sekarang aku berada di toko buku. Dia terlihat sedang berpikir sambil menaruh telunjuk kanannya di salah satu sisi pelipisnya.

“Hmm…Internet?” celetuknya.

“Jangan bercanda kau! Kau tahu darimana?”

“Insting…” jawabnya enteng.

“Lee Sungmin!! Kau sudah tua, tiga tahun lebih tua dariku, dan kau hampir berumur kepala dua. Tapi kelakuanmu seperti anak TK! Tolong jawab yang benar!” aku mengambil salah satu buku yang cukup tebal dan langsung memukulnya dengan buku itu.

“Hei, sakit! Oke, akan kuberitahu! Daritadi aku mengikutimu,” akunya. Aku terdiam. Mengikutiku? Sejak kapan? Aku tak merasa diikuti.

“Sejak kapan?”

“Sejak kau keluar dari apartemenmu,”

“Aku tak merasa diikuti, kau ini seperti hantu, kau tahu? Datang tiba-tiba!”

“Kau ini memang gadis tidak peka,” keluhnya.

“Kau tidak ada kerja?” tanyaku.

“Libur, tidak ada jadwal kerja. Karena itu, aku mengikutimu kesini,”

“Kau ini memang benar-benar seperti penguntit, sepertinya sekarang sudah terbalik ya?”

“Maksudmu?”

“Harusnya aku yang sebagai penggemar yang mengikutimu kemana saja, tapi justru sekarang kau yang terlihat seperti penggemarku, haha,” aku tertawa lepas. Sungmin-ssi ikut tertawa bersamaku.

“Jadi, kau pikir aku ini penggemarmu sekarang? Haha,”

Kami tertawa bersama dan tawa kami membuat semua orang yang berada disekitar kami sedikit terganggu. Kami –aku dan Sungmin-ssi –langsung menghentikan tawa.

“Hei, Tara! Bagaimana jika kau ikut denganku?” Lee Sungmin berbisik di telingaku.

“Kemana?” tanyaku pelan. Kulihat dia tersenyum, satu senyum yang paling aku suka.

“Kau akan tahu, ayo…” tiba-tiba pria yang ada didepanku ini menggenggam tanganku dengan lembut.

*

Sungmin POV


“Sudah lama aku tidak pergi kepantai,” ujarnya.

“Jadi, aku tak salah pilih membawamu kesini?” tanyaku. Tara mengangguk.

“Kenapa kau ingin membawaku ke pantai?”

“Pantai adalah salah satu tempat favoritku. Rasanya bebas saat aku berada dipantai, karena saking luasnya aku bisa berlari dan berteriak sesuka hati, menghilangkan semua beban pekerjaan yang selalu datang terus-menerus tanpa henti,” tuturku.

“Tak hanya berlari dan berteriak, kau juga bisa menari tanpa pakaian mungkin,” celetuknya. *jangan dibayangin*

“Hah! Kau bercanda! Aku tidak segila itu, Tara!” seruku. Tara tertawa. Nada tawa seorang Tara sangat khas, membuatku tidak bosan untuk mendengar tawanya.

“Tunggu sebentar!”

“Hei, Sungmin-ssi! Kau mau kemana??” tanyanya.

“Aku mau mengambil gitar di mobil!” aku bergegas menuju mobil dan mengambil gitar. Setelah itu, aku kembali duduk disampingnya.

“Kau mau bernyanyi?”

“Tentu saja, aku tahu kau pasti rindu mendengar suara emasku!”

“Jujur, ya…aku rindu mendengar suaramu,” gumamnya.

“Dan jujur, baru kali ini aku mendengarmu berkata jujur…” celetukku.

“Jangan bercanda terus! Cepat bernyanyi!”



na oerowododoe neol saenggakhalddaen

misoga naui eolgule beonjyeo
na himdeuleododoe niga haengbokhalddaensarangi nae mam gadeukhi chaewo

oneuldo nan geochin sesangsoke saljiman

himdeuleodo nungameumyeon ni moseubbun
ajikgo gwitgae deulryeooneun kkumdeulinaui gyeoteseo neol hyanghae gago itjana

nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom

neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeondasi ileoseol geoya

naege sojunghaetdeon gieoksokui haengbokdeul

himdeun sigan sokeseodo deouk ddaseuhaetdeonhuimangeun naegen jamdeulji aneun kkum

neul naui gyeoteseo geurimjacheoreom

joyonghi neoneun naegero waseo
na apahaneunji maeil oerounjigeuriumeuro neoneun naege danyeoga

sesangi nal ulge haedo naneun gwaenchana

hangsang niga naui gyeote isseunigga
meonjicheoreom chueoki byeonhaeseo ddeonalggageujeo useumyeo maeumeul dalraeeo bwado

nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom

neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeondasi ileoseol geoya

naege sojunghaetdeon gieoksokui haengbokdeul

himdeun sigan sokeseodo deouk ddaseuhaetdeonhuimangeun naegen jamdeulji aneun kkum

sueobsi neomeojyeo biteuldaedo

naneun ireohgeseo itjana
nae mam hanabbuninde
himdeul ddaemyeon niga ireohge himi dwaejulraeneoreul hyanghae yeongwonhi

ireohge sangcheo soke seulpeumdeuleul samkinchae

miso jitneun nae moseubeul neoege boyeo julgeijeneun apeuji ana

eonjena neowa hamgge irugopeun kkum ango

galsu eobdeon jeopyeoneseo neoreul bulreobolggenae maeum dahae saranghaneun neoreul
 

[TRANSLATION]

It doesn’t matter if I’m lonely. Whenever I think of you

A smile spreads across my face.
It doesn’t matter if I’m tired. Whenever you are happyMy heart is filled with love.

Today I might live in a harsh world again.

Even if I’m tired, when I close my eyes, I only see your image.
The dreams that are still ringing in my earsAre leaving my side towards you.

Everyday my life is like a dream.

If we can look at each other and love eachI’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories

Will be warmer during hard times.For me, hope is a dream that never sleeps.

Like a shadow by my side you always

Quietly come to me.
To see if I’m hurt, to see if I’m lonely everydayWith feelings of yearning, you come to me.

Even if the world makes me cry, I’m okay.

Because you are always by my side.
Like dust, will those memories change and leave?I’ll keep smiling to ease my heart.

Everyday my life is like a dream.

If we can look at each other and love eachI’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories

Will be warmer during hard times.For me, hope is a dream that never sleeps.

No matter how many times I stumble and fall

I’m still standing like this.
I only have one heart.
When I’m tired you become my strength.My heart is towards you forever.

So I swallowed the hurt and grief.

I’ll only show you my smiling form.It doesn’t even hurt now.

I’ll always hold on to the dreams I want to fulfill with you

I’ll try to call for you at the place I cannot reach
I love you with all my heart.

Tanganku berhenti memetik gitar, menandakan bahwa lagu yang kunyanyikan telah berakhir. Aku tertawa melihat ekspresinya saat ini.

“Kau ini kenapa? Sampai seperti itu kau terpesona padaku, Tara.”

“Kau menyebalkan!” sungutnya.

“Tara…” aku memanggilnya.

“Apa?”

“Ada yang ingin kukatakan padamu…”

“Apa?” tanyanya lagi.

Aku sedikit agak mendekat padanya. Kemudian aku berbisik di telinganya.

“Saranghae…”

*

Tara POV

“Saranghae…”

Kata-kata itu terus bergema tanpa henti di pikiranku. Satu kata yang selalu ditunggu oleh setiap orang. Satu kata yang kupikir sangat mustahil bisa diucapkan oleh seorang Lee Sungmin padaku. Wajahnya kemudian menjauh dan terus menatap kedua mataku dalam-dalam. Tidak terlihat ekspresi bercanda yang selalu ia perlihatkan di matanya. Ya, aku tahu kali ini dia serius.

“Kau jangan anggap pernyataanku tadi bercanda, aku serius…dalam hal cinta, aku tidak pernah bercanda,” gumamnya. Wajahku memanas dan mulai memerah.

“Aku tahu…itu terlihat jelas dimatamu,” kataku dengan pelan.

“Terus?”

“Ha? Terus?”

“Terus bagaimana?” tanyanya lagi.

“Bagaimana apanya?”

“Ya, Tuhan! Kau menerima cintaku atau tidak? Dasar bodoh!” Lee Sungmin mengeluh sambil mengacak-acak rambutnya.
Jawaban…untuk hal seperti ini aku tidak suka memberi jawaban. Ini membuatku semakin bimbang. Menerimanya atau menolaknya. Aku takut keputusan yang akan kuambil ini adalah sebuah kesalahan.

“Lee Sungmin…”

“Ya?”

“Apa kau pernah berpikir tentang kematian?”

*

Sungmin POV

“Apa kau pernah berpikir tentang kematian?”

“Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, buat apa kamu menanyakan hal seperti itu?”

“Aku pernah membaca sebuah buku…tidak hanya perselisihan ataupun ketidakcocokkan yang bisa membuat sepasang kekasih berpisah, tapi kematian juga bisa membuat sepasang kekasih berpisah, bahkan kematian itu adalah alasan paling tragis dan paling menyakitkan daripada perselisihan ataupun ketidakcocokan, apa kau pernah berpikir seperti itu?”

“Maaf, aku tak pernah berpikiran sampai sejauh itu, aku hanya memikirkan bagaimana caranya supaya aku bisa menjalani masa-masa sekarang,”

“Jadi…bagaimana?” tanyaku .

“Maaf…”

“Apa?”

“Maaf, aku tidak bisa…”

“Kenapa? Kenapa tidak bisa?”

“Aku tidak pantas…”

“Tidak pantas? Tidak pantas kenapa? Karena aku ini seorang artis? Dangkal sekali pikiranmu. Kau ini sangat bodoh, Tara!”

“Bukan karena kau ini artis! Tapi…”

“Tapi apa kalau begitu?”

“Aku tidak bisa memberitahumu…”

“Tara! Jangan seperti ini! Ada yang kau sembunyikan dariku, bukan?”

“Lee Sungmin, maaf, aku mau pulang!”

“Tara! Tolong jawab dulu pertanyaanku!”

“Aku mau pulang!!” Tara tiba-tiba berdiri dan menenteng tas.

“Tara!” aku langsung menyusulnya dan menarik lengannya.

“Tolong jangan menghalangiku, Lee Sungmin! Kalau kau tidak mau, biar aku pulang sendiri!!” teriaknya.

Aku terdiam dan berhenti untuk mendesaknya, raut wajahnya terlihat sangat sedih. Aku mendekatkan diri padanya dan mencoba memeluk tubuhnya yang sedang gemetaran.

“Maafkan aku…ayo, kuantar pulang,”

*

Selama diperjalanan, dia terus diam tidak berbicara. Aku sendiri terus berkonsentrasi dengan kegiatan menyetirku, mengantarnya menuju apartemen tempat tinggalnya.

Begitu sampai di depan apartemen sampai saat dia keluar dari mobilku, dia tetap diam, tak mau bicara. Apa dia marah padaku? Ah, berpikirlah positif, Lee Sungmin!

“Kau benci padaku?” tanyaku dengan nada pelan. Sambil terus menatap kedepan, dia menggeleng.

“Kenapa kau tidak mau bicara?”

“Apa yang harus kubicarakan, tidak ada hal yang penting…”

Aku menghela napas panjang dan memandang kedepan selama beberapa detik, kemudian aku kembali melihat wajah Tara. Darah segar mulai mengalir keluar dari dalam hidungnya. Aku segera mengambil tissue kemudian mencoba untuk membersihkan darah yang keluar.

“Tara! Kau mimisan lagi!”

“Sudah! Biarkan saja!” Rontanya sambil mencoba untuk menjauhkan tanganku dari wajahnya.

“Tara!”

“Aku tidak mau!!”

“TARA! DENGARKAN AKU DULU!!” Aku berteriak dengan kencang sampai-sampai Tara menghentikan amukannya. Aku terus menunduk, menatap kearah bawah sambil memegang dahi. Jujur aku sedikit agak frustasi dan sangat kacau begitu melihat kondisinya yang sekarang. Tara berubah drastis setelah aku menyatakan perasaanku padanya.

“Tolong jangan seperti ini…ini bukan Tara yang kukenal, aku tahu ada sesuatu yang sangat mengganjal dipikiranmu, itu sangat terlihat jelas. Aku tidak pernah memaksamu untuk menceritakan semuanya padaku, tapi jika kau sudah siap untuk membuka semua rahasiamu, kau boleh bercerita padaku…”

“Kupikir kau tidak suka dengan pernyataanku tadi. Sepertinya itu sangat mengganggumu. Lebih baik sekarang kau istirahat untuk menenangkan diri,” tambahku. Aku mencoba untuk tersenyum, meskipun sangat berat. Aku mengelus puncak kepalanya.

“Aku pulang dulu,” aku berjalan menuju mobil dengan langkah gontai. Aku mencoba untuk tidak berpaling ke belakang, supaya aku tidak melihat ekspresi wajahnya itu.

Ya, sepertinya dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Jika Tara sudah kembali tenang, aku akan kembali menghubunginya.

*

Tara POV

Sendirian dan sepi. Itulah dua keadaan yang sedang aku rasakan saat ini. Aku tidak pulang kerumah, tanpa sadar aku berjalan menuju taman yang tak jauh dari apartemenku. Udara saat itu dingin sekali, dan mantelku tidak cukup tebal untuk menghilangkan rasa dingin malam ini.

Hawa dingin semakin lama semakin menusuk tubuh, tapi tidak bisa menghilangkan rasa kebimbangan yang tengah aku alami. Terkejut? Ya, aku sangat terkejut mendengar pengakuannya. Bahagia? tentu saja sangat bahagia. Tapi dibalik rasa bahagia, terdapat rasa sakit yang tiba-tiba muncul dan mengikis rasa bahagia tersebut. Tak hanya rasa sakit, tapi juga rasa takut. Rasa takut akan berpisah dengan dengan orang yang sangat dicintai. Karena aku tak akan tahu kapan aku pergi meninggalkannya akibat penyakit yang sudah kuderita selama beberapa tahun.

Leukemia limfositik akut. Penyakit yang jarang sekali diderita oleh remaja berumur 16 tahun seperti aku. Penyakit dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit, berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal didalam sumsum tulang.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Otakku tidak bisa berpikir dengan cepat. Sangat kacau, bukan hanya wajahku yang terlihat kacau, tapi pikiranku juga sangat kacau.

DEG!

Ah, jangan! Kenapa disaat seperti ini, nyeri di dadaku kembali muncul. Kali ini lebih sakit daripada biasanya. Sakit sekali, seperti ditusuk oleh pisau berkali-kali. Badanku lemas, kakiku tidak bisa digerakkan, setelah itu penglihatanku memudar dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya…

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar