Jumat, 22 April 2011

Only You (3 of 3)

Sungmin POV

“Hei, Sungmin! Sebentar lagi kau akan tampil, kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?” Hyun-Hwa duduk disamping sambil menatapku dengan heran. Aku menghiraukannya dan terus menatap jendela, melihat langit mendung.

“Kau ini kenapa? Aku bingung harus berkata apalagi padamu, kerjamu setiap hari hanya melamun dan terus menatap layar ponselmu,” keluhnya. Aku menatapnya.

“Kalau kau tidak suka, lebih baik kau tak usah melihatku!”

“Lama-lama kau seperti gadis yang sedang mendapat penyakit bulanan, ada apa denganmu?Baru dua hari kau hilang kontak dengan Tara, kau sudah seperti kehilangan kekuatan,”

Kehilangan kekuatan? Mungkin. Kehidupanku menjadi kacau sejak aku dan Tara hilang kontak. Padahal baru dua hari, tapi sudah sesakit dan sekacau ini. Apa ini rasanya patah hati setelah ditolak oleh gadis yang dicintai?

“Hilang kekuatan? Hm…jadi Tara adalah kekuatanku ya?” gumamku.

“Mungkin, menurutmu?”

Aku mengeluarkan ponselku dan terus menatapnya, berharap tiba-tiba nama ‘Tara’ tertera di layar ponselku. Tara…dimana kau sekarang?

“Hah! Aku kesal melihat keadaanmu seperti ini! Kalau begitu aku harus lakukan sesuatu!”

“Melakukan apa?”

“Aku akan membawa Tara kesini!” serunya sambil memakai mantel coklat miliknya.

“Eh, biar aku saja yang mencarinya!” cegahku.

“Hei, jika kau pergi, siapa yang menghibur para penonton? Aku? Para penonton akan pulang jika mendengarku bernyanyi! Sudahlah biar aku saja yang membawanya, tapi kau harus berjanji padaku!”

“Apa?”

“Kau harus tampil sebaik mungkin,” gumam Hyun-Hwa sambil tersenyum. Aku beruntung bisa mempunyai sahabat sepertinya.

“Tentu saja!”

*

Hyun-Hwa POV

Mobilku tepat berhenti di apartemen Tara. Nah, sekarang apa yang harus aku lakukan? Ya, Tuhan kau ini bodoh sekali, Hyun-Hwa! aku berkata bahwa aku akan membawa Tara menemui Sungmin, tapi sekarang aku hanya berdiri di depan apartemennya. Aku tidak tahu dia tinggal dilantai berapa dan apartemen nomor berapa.

Tiba-tiba aku melihat seorang gadis yang seragamnya…sangat familiar. Ya, itu seragam sekolah Tara. Siapa tahu gadis itu adalah temannya yang baru saja pulang dari rumah Tara. Aku menghampiri gadis tersebut.

“Permisi,”

“Iya, ada apa?”

“Apa kau kenal denganTara?”

“Iya, aku Park Byul-Hee, sahabat Tara, kau siapa?”

“Aku Park Hyun-Hwa, wah nama depan kita sama, ah bukan saatnya berkata seperti itu. Byul-Hee-ssi, apakah Tara-ssi ada diapartemennya?” tanyaku.

“Tara tidak ada di apartemennya,”

“Tidak ada? Jika Tara tidak ada, kenapa kau kesini?”

“Aku disuruh oleh Ibunya untuk mengambil barang-barang pribadi miliknya,” jawab Byul-Hee.

“Memangnya dia berada dimana?”

“Tara sekarang ada di…rumah sakit,” gumamnya. Rumah sakit? Apa yang terjadi padanya, apa dia mengalami kecelakaan?

“Kenapa? Tara mengalami kecelakaan?” dia menggeleng.

“Kau tidak tahu tentang penyakitnya?”

“Penyakit apa? Apa maksudmu?”

“Sebaiknya kau ikut denganku, supaya kau tahu semuanya.”

*
Sungmin POV

Akhirnya acara yang membosankan itu selesai juga, tapi sampai sekarang kenapa Hyun-Hwa masih belum tampak. Apa dia tidak berhasil membawa Tara? Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari kejauhan. Hyun-Hwa sudah datang, namun…mana Tara?

“Hyun-Hwa? mana Tara?” tanyaku sambil memandang ke sekeliling.

“Dia tidak datang,” gumamnya.

“Kau kan sudah janji untuk membawanya kesini!” emosiku mulai naik.

“Justru aku ingin membawamu untuk menemui Tara! Jangan emosi seperti itu dulu! Wajahmu menyebalkan!” gerutu Hyun-Hwa sambil menatapku sinis. Membawaku untuk menemui Tara? Memangnya dia ada dimana?

“Dia ada dimana?”

“Lebih baik kau ikut denganku sekarang,”

*
Rumah Sakit

Rumah sakit? Untuk apa Hyun-Hwa membawaku kerumah sakit? Siapa yang sakit? Aku terus mengikuti Hyun-Hwa dari belakang dengan pikiran yang dipenuhi dengan pertanyaan, aku terus melihat ke sekeliling penjuru ruangan rumah sakit itu. Mereka melihatku sambil tersenyum dan sangat histeris. Jelas saja, kali ini aku tidak menyamar. Mereka langsung mengenaliku dengan cepat. Tapi aku tidak peduli, dipikiranku sekarang hanya Tara. Dimana dia sekarang?

Kali ini aku dan Hyun-Hwa berada di lantai lima, kami berjalan menuju salah satu ruang rawat. Ruang rawat bernomor 502. Untuk apa kami kesini? Apakah ada kerabat Tara yang sakit? Atau mungkin orangtuanya?

Seorang gadis –berdiri di depan pintu kamar –yang masih berpakaian seragam itu terkejut melihat kedatanganku. Aku rasa dia adalah teman Tara. Seragamnya sama.

“K…Kau…Lee Sungmin??” tanyanya sambil menunjuk kearahku.

“Ya, aku Lee Sungmin, kau sahabat Tara?” tanyaku. Dia mengangguk kaku dengan tatapan yang sangat…tidak mengenakkan.

“Aku Byul-Hee, aku tidak menyangka bahwa Tara benar-benar mengenalmu, kenapa kau bisa mengenalnya?”

“Sejujurnya, berita yang dulu menimpaku, saat aku difoto bersama seorang gadis, gadis itu adalah Tara,” aku mengaku padanya. Raut wajahnya berubah drastis, mulutnya sampai terbuka.

“Mwo? Benarkah? Ya, ampun ternyata kalian benar saling mengenal, kenapa dia tidak pernah memberitahuku?” keluh Byul-Hee.

“Bukan hanya mengenal, bahkan Lee Sungmin saja sampai mencintai…HMPPH!!” Penyakit Hyun-Hwa sebagai tukang penyebar rahasia kembali muncul. Aku langsung menutup mulut Hyun-Hwa.

“Apa?” tanya gadis itu dengan penasaran.

“Eung, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah tersebut, dimana Tara sekarang?”

Park Byul-Hee menyuruhku dan Hyun-Hwa masuk terlebih dahulu. Dengan langkah pelan, aku memasuki kamar rawat tersebut. Aku melihat seorang wanita paruh baya dengan mata yang terlihat bengkak –seperti habis menangis –juga seorang pria –yang kupikir adalah ayahnya –terlihat sangat lelah sedang menenangkan hati istrinya tersebut. Sekarang, mataku tertuju pada gadis yang tidak sadarkan diri di ranjang dengan selang oksigen yang berada di hidungnya untuk membantu pernapasan. Ya, itu Tara. Wajahnya terlihat sangat pucat dan lemas.

“Apa yang terjadi padanya?” tanyaku pada Byul-Hee.

“Kanker Limfositik Akut…” gumam Hyun-Hwa. Aku memandang Hyun-Hwa dengan heran.

“Apa?”

“Dia menderita penyakit Kanker Limfositik Akut,”

“Kanker? Benarkah? Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?”

“Mungkin dia punya alasan tersendiri,” jawab Hyun-Hwa.

Aku mendekatkan diri ke orangtuanya. Aku memberi salam dan memperkenalkan diri kepada mereka. Pertama kali melihatku, orangtua Tara tidak percaya bahwa artis yang sangat diidolakannya datang untuk menjenguk anak gadisnya. Dan tentu saja mereka juga tidak percaya bahwa Tara mengenalku. Aku hanya tersenyum begitu mendengar cerita Ibunya. Hampir satu jam aku mengobrol bersama orangtuanya, juga Hyun-Hwa dan Byul-Hee.

“Paman, Bibi, bagaimana jika malam ini saya yang menjaga Tara? Saya lihat Paman dan Bibi terlihat sangat kelelahan,” ujarku.

“Apa tidak apa-apa? Kau juga pasti sangat lelah karena baru saja mengisi sebuah acara,” kata Bibi dengan penuh khawatir.

“Tapi tidak selelah Paman dan Bibi. Tenang saja, jika Tara sadar aku akan langsung menghubungi Paman dan Bibi,”

“Baiklah, terima kasih, Sungmin-ssi,” ujar Paman.

Akhirnya orang tua Tara dan Byul-Hee pulang dari rumah sakit. Sekarang hanya ada aku, Hyun-Hwa, juga Tara yang masih tidak sadarkan diri. Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya. Ya, Tuhan…dasar gadis bodoh, kenapa kau tidak jujur padaku?

“Hyun-Hwa, bisakah kau membatalkan semua jadwal kerjaku seminggu kedepan?” tanyaku padanya.

“Apa? Yang benar saja! kau tak bisa seenaknya membatalkan jadwal kerjamu, Sungmin!” Hyun-Hwa menolak permintaanku.

“Aku mohon, Hyun-Hwa untuk seminggu ini saja, aku ingin terus disini bersamanya, tolonglah…” aku memohon pada Hyun-Hwa. Yang benar saja, disaat orang yang dicintai jatuh sakit, kita lebih memilih pekerjaan? Itu sangat bodoh dan tak berotak. Aku yakin Hyun-Hwa pasti mengerti. Hyun-Hwa menghela napas panjang.

“Baiklah…” Hyun-Hwa segera mengambil ponselnya dan menghubungi beberapa orang untuk membatalkan semua jadwal pekerjaanku.

Aku kembali memandang wajah gadis itu. Tanganku dengan sangat perlahan, mulai menyentuh lembut pipinya dan kemudian menyentuh rambut ikalnya yang berantakan. Aku mendengar dari Ibunya bahwa dia jatuh pingsan dua hari yang lalu, jika dipikir-pikir berarti setelah aku mengantarnya ke apartemen. Lagi-lagi aku berpikir bahwa aku sangat bodoh. Harusnya aku mengantarnya sampai ke dalam apartemennya, bukannya di depan.

“Sungmin…” Aku menoleh kebelakang. Hyun-Hwa memanggilku.

“Aku sudah membatalkan semuanya, jadi kau bisa santai selama seminggu. Hm…mau kutemani disini?” tawar Hyun-Hwa. Aku menggeleng.

“Tidak usah, biar aku sendiri saja, terima kasih sudah mengantarku,” kulihat Hyun-Hwa tertawa pelan.

“Sungmin…”

“Ya?”

“Kau memang laki-laki yang sangat hebat,” pujinya. Aku tertawa kecil.

“Tak biasanya kau memujiku seperti ini, otakmu kenapa?” celetukku.

“Kau memang menyebalkan!” dia memukul bahuku dengan keras. Terasa sangat sakit. Hyun-Hwa mempunyai tenaga yang sangat kuat, kupikir dia mampu menumbangkan semua lawannya hanya dengan memukul bahunya saja.

“Sudahlah! Cepat sana pulang!” usirku.

“Sampai ketemu besok, Sungmin…”

Kali ini, hanya ada aku dan Tara. Aku terus menggenggam tangannya dan terus menatap wajahnya. Aku masih terus menunggunya sadar.

*
Tara POV

Sinar matahari dari luar mulai menyengat wajahku, terasa sangat tidak enak. Kedua mataku terbuka secara perlahan. Ini bukan kamarku. Sepertinya sekarang aku berada dirumah sakit. Ah, penglihatanku masih samar-samar, dan kepalaku masih terasa sangat pusing. Aku juga tidak punya tenaga untuk bangkit. Aku menoleh kearah kanan tempat tidurku. Ada seseorang yang tertidur disampingku sambil menggenggam tanganku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena tersengat sinar matahari. Aku terus mengerjap-ngerjapkan mata. Kali ini terlihat sangat jelas. Lee Sungmin? Kenapa dia tahu aku disini?

Dia terbangun begitu merasakan tanganku sedikit bergerak. Dia mengusap kedua mata dengan tangannya. Sungmin sangat terkejut begitu melihatku sudah siuman.

“Tara? Kau sudah sadar?” tanyanya. Aku mengangguk lemah.

“Aku akan menghubungi kedua orangtuamu sebentar!” Sungmin segera bangkit dari tempat duduknya dan mengambil ponsel di meja.

“Ja…jangan!” seruku dengan suara yang agak serak.

“Kenapa?”

“Nanti saja…aku…masih ingin berdua denganmu…” gumamku.

“Baiklah…” dia kembali menaruh ponselnya di meja, kemudian duduk kembali di sampingku.

“Tara…aku hanya ingin mengatakan…”

“Apa?”

“Kau itu sangat bodoh!?” serunya di telingaku. Apa? Sangat bodoh? Apa seperti itu perlakuannya terhadap gadis yang baru saja sadar? Lagi-lagi harus kuakui, dia sangat menyebalkan.

“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanyaku.

“Pikiranmu itu susah sekali untuk dimengerti! Aku bingung dengan jalan pikiranmu!” keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya.

“Jadi ini alasanmu kenapa kau menolakku? Karena penyakitmu ini? Kau pikir jika aku tahu tentang penyakitmu, aku akan menjauh darimu? Dan menyesal bahwa aku pernah menyukaimu? Ya, Tuhan…dengan terpaksa aku harus mengakui bahwa kau itu adalah orang terbodoh yang pernah aku temui!” tuturnya. Ya, ampun ingin sekali aku menutup wajahku dengan bantal.

“Iya! Aku memang bodoh! Tapi aku berbuat seperti ini supaya kau tidak kecewa denganku, mana ada pria yang mau berhubungan dengan gadis penyakitan? Itu hanya akan membuat gadis dan si pria sakit hati!” aku berargumen dengannya, mengeluarkan segala pikiranku yang tertahan di dalam otak.

“Kau itu terlalu banyak membaca novel dan menonton drama! Kau itu berlebihan! Tidak semua pria seperti itu! Jika semua pria tak mau berhubungan dengan gadis penyakitan sepertimu, mana mungkin sekarang aku ada disini menjagamu semalaman?? Pikir saja dengan otakmu!”

Rasanya aku ingin menangis, aku memang orang yang sangat bodoh bisa berpikiran seperti itu. Pikiranku ternyata sangat dangkal. Aku merasa sangat bersalah dengannya. Maafkan aku…

“Kau tahu…sejak kau menolakku, pikiranku menjadi kacau, frustasi. Dan kau juga harus tahu, begitu tak ada kabar darimu selama dua hari, aku merasa bahwa aku sudah gila. Selalu melihat ke layar ponsel, melamun, dan aku seperti gadis yang sedang mengalami penyakit bulanan…”

“Saat menemukanmu dalam keadaan seperti ini…aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh, bahkan lebih bodoh darimu…aku berpikir kenapa aku tidak mengantarmu sampai lantai atas, sampai didepan apartemenmu…mungkin jika aku mengantarmu sampai lantai atas, mungkin lain ceritanya…” gumamnya dengan nada parau. Air mataku mulai menetes dan mengalir kesamping dan membasahi bantal.

“Maafkan aku…aku tak bermaksud…” gumamku. Dia kembali menggenggam tanganku dengan lembut.

“Tolong jangan membuatku seperti ini lagi. Kau sudah hampir membuatku gila, jadi kumohon jangan terjadi lagi…”

Aku mengangguk pelan dan tersenyum.

“Sungmin-ssi…ada yang ingin kukatakan padamu…”

“Apa? Bahwa aku sangat bodoh?”

“Kenapa kau selalu berpikiran negatif denganku?? Mendekatlah padaku…” Lee Sungmin mendekat padaku, sehingga sekarang bibirku tepat berada didepan telinganya. Dan baru kali ini dengan mudahnya aku mengatakan satu kalimat sihir yang bisa membuat semua orang berdebar-debar jika mendengarnya.

“Saranghae…”

Wajahnya memerah. Ya, Tuhan…wajahnya terlihat sangat lucu begitu mendengar ucapanku tadi. Aku tertawa pelan.

“Itulah jawaban dariku, Lee Sungmin, terima kasih karena kau telah mencintaiku…”

*

Sungmin POV

Sudah tiga hari aku berada disini, menemaninya selama di rumah sakit. Dan sudah tiga hari sejak dia mengatakan ‘saranghae’ padaku. Begitu kuceritakan padanya bahwa aku membatalkan semua jadwal kerjaku untuk seminggu kedepan, dia langsung memarahiku dan hampir melempar vas bunga kearahku. Terlihat sangat kejam untuk ukuran gadis yang sedang sakit. Alasannya jelas…dia tak mau merusak semua jadwal kerjaku hanya karena dirinya. Jika dipikir-pikir, hubunganku dengannya tidak seperti sepasang kekasih, justru seperti pelayan yang sedang ditindas dan disiksa majikannya. Ya, Tuhan pikiranku terlalu mengada-ada. Abaikan saja.

Hari ini setelah mengisi acara di sebuah acara amal, aku berencana untuk datang dan membawa sebuket bunga untuknya. Dengan santai sambil bersiul-siul kecil, aku berjalan menuju kamarnya. Tiba-tiba segerombolan wartawan langsung menyerbuku dan menanyaiku dengan pertanyaan yang tidak ada habis-habisnya.

“Sungmin! Apa yang kau lakukan disini?”

“Apa ada kerabatmu yang sakit?

“Siapa dia? Tolong beritahu!!”

Aku tersenyum.

“Kekasihku sedang sakit dan dirawat disini, tolong jangan mengganggunya karena dia sangat lemah, sudah ya aku harus kekamarnya!” ujarku dengan mantap. Mereka terus menatapku dengan tidak percaya. Tentu saja, seorang Lee Sungmin yang tidak pernah terdengar kabar mempunyai seorang kekasih, sekarang dengan mantap berkata bahwa kekasihnya sedang dirawat disini.

Sekarang aku sudah berada di depan kamarnya. Aku mengetuk pintu, dan kemudian masuk kedalam.

“Hai, Sungmin!” aku melihat Hyun-Hwa sudah duduk manis disamping tempat tidur Tara sambil…menyuapi Tara. Oh, sepertinya aku telat!

“Hei, Sungmin-ssi, kau lama sekali, dan aku sudah lapar, untung saja ada Hyun-Hwa-ssi yang mau menyuapiku!” seru Tara sambil mengunyah makanannya. Aku menyipitkan mata kepada mereka berdua.

“Tolong kau jangan cemburu, Sungmin-ssi! Kau tidak akan memecatku sebagai manajer, bukan?” tanya Hyun-Hwa.

“Terserah kau saja!” gerutuku. Kemudian terdengar suara pintu terbuka. Byul-Hee datang sambil membawa satu plastik penuh berisikan buah.

“Oh, hai Sungmin-ssi! Kau baru datang ya?” sapanya.

“Ya, baru saja datang, dan baru saja melihat pemandangan yang tidak enak!”

“Ya, Tuhan, kau ini seperti gadis yang tidak mau mainannya diambil!” keluh Hyun-Hwa sambil menaruh piring makanan yang sudah habis.

“Harap dimaklumi, mereka baru saja resmi pacaran, Hyun-Hwa-ssi!” celetuk Byul-Hee.

“Kalian ini!” seruku.

“Sepertinya kami harus meninggalkan kalian berdua, kami mau makan siang sebentar diluar! Sampai ketemu nanti!” pamit Hyun-Hwa.

Sekarang mataku tertuju pada sebuah buku berwarna biru yang sedang ditulis oleh Tara. Aku mencoba untuk mengintip isinya, tapi kemudian Tara langsung menutup buku tersebut dan memeluknya.

“Jangan lihat!! Ini rahasia!!” serunya.

“Itu buku apa?? Kenapa kau main rahasia-rahasiaan denganku? Aku ini pacarmu!”

“Lantas, karena kau pacarku, kau harus tahu tentang buku ini??”

“Ya…tidak juga, itu terserah kau…”

“Kalau begitu jangan lihat! Sudah pergi sana!” Tega sekali dia mengusirku. Sudah kubilang, kami tidak seperti sepasang kekasih, tapi seperti penyiksaan pelayan oleh majikannya.

Aku menunggunya sambil membaca buku di sofa. Setelah selesai menulis didalam buku, dia memanggilku.

“Sungmin-ssi, aku sudah selesai, kau boleh kesini!”

“Sudah selesai?”

“Ya, aku sudah selesai…”

Kami mengobrol panjang lebar untuk menghilangkan rasa bosan di rumah sakit. Dan tiba-tiba…dia menanyakan pertanyaan yang kupikir…sangat tidak wajar.

“Sungmin-ssi…”

“Ya?”

“Apa kau pernah merasa takut akan kematian?” tanyanya dengan pelan. Aku menatapnya dengan tatapan heran.

“Pertanyaan macam apa itu? Apa tidak ada pertanyaan lain? Aku tidak suka, Tara…”

“Aku hanya bertanya? Tidak boleh?”

“Bukan begitu…tapi aku rasa, pertanyaanmu itu tidak enak terdengar di telingaku,”

“Kau hanya perlu menjawab, tidak perlu berkomentar!”

“Oke baiklah! Aku lebih memilih untuk menjawab daripada dilempar vas bunga!” aku menghela napas.

“Tentu ada rasa takut didalam diriku, tapi mau bagaimana lagi? Menghindar dari kematian? Tidak mungkin bukan? semua manusia akan menghadapi kematian, dan kita tidak akan tahu kapan kematian menjemput kita, siapa tahu lima menit kemudian aku mati, kita tidak tahu. Bukan kematian yang menunggu kita, tapi kita yang menunggu kematian itu datang, itu pendapatku.”

Dia terlihat sedang berpikir dan merenung akan kata-kataku tadi. Tak biasanya wajahnya terlihat seperti ini. Ah, mungkin hanya perasaanku saja, lupakan.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin bertanya,” gumamnya.

“Tara, kalau boleh tahu, apa yang kau tulis di dalam buku birumu itu?” tanyaku penasaran.

“Itu rahasia, kau tak boleh tahu!”

“Dasar aneeh!!” aku langsung mencubit kedua pipinya, saking gemasnya. Karena tidak mau kalah, Tara juga mencubit kedua pipiku.

“Tara, sakit! Tolong lepaskan!”

“Kau juga!!”

*

Tara POV

Dulu, aku paling tidak suka dengan rumah sakit. Tidak enak dan rasanya sangat sepi. Tapi sekarang tidak lagi, karena ada pria satu ini. Pria yang mempunyai rasa percaya diri tinggi dan selalu menganggap dirinya adalah pria tertampan nomor satu di Korea. Juga pria yang dengan mudahnya masuk kedalam kehidupanku. Dialah Lee Sungmin. Bagiku, dia adalah segalanya sekarang. Kekuranganku seakan-akan telah tertutupi karena dengan adanya dia, aku merasa sangat lengkap.

Disaat kami masih mengobrol dengan santai, tiba-tiba perutku merasa mual. Rasanya ingin kumuntahkan semua yang ada didalam perutku.

“Tara? tolong tahan sebentar!” Sungmin langsung mengambil sebuah wadah yang ditaruh dibawah tempat tidur dan kemudian memberikannya padaku. Langsung kumuntahkan semua yang ada di dalam tubuh. Sedikit lebih enak rasanya.

“Sudah selesai?” Sungmin memberikanku sehelai tissue untuk membersihkan mulut. Aku mengangguk pelan.

“Lebih baik kau istirahat,” suruhnya.

“Kau…tetap disini bukan?” tanyaku sambil memegang tangannya.

“Tentu saja, aku akan terus disini,” jawabnya sambil tersenyum.

“Aku ke toilet sebentar,”

Aku merebahkan diri di tempat tidur, menghadap kearah jendela. Jendela itu tidak ditutup, sehingga aku bisa merasakan angin musim gugur masuk kedalam ruang rawatku. Udara di siang hari ini tidak terlalu panas karena angin yang terus berhembus. Aku…tidak ingin tertidur ataupun istirahat. Pikiranku mulai tak karuan, selalu ada rasa takut yang mulai menghantui pikiran juga hati.

Aku takut jika aku memejamkan mata, aku tidak akan terbangun lagi. Kalian tahu bukan apa artinya? Ya, kematian. Oh, kenapa aku bisa berpikir seperti itu? Pikiran aneh seperti itu hanya akan membuatku tidak tenang. Tolong jangan seperti ini Tara…

*

Sungmin POV

Sudah hampir tiga minggu Tara dirawat di rumah sakit. Sejak saat Tara mengalami mual-mual yang terus-menerus, kesehatannya tak kunjung membaik, justru makin memburuk. Karena itu, dia mulai menjalani kemoterapi yang bagiku itu adalah salah satu hal yang sangat menyakitkan buat dirinya. Dia menangis tanpa henti karena rasa sakit yang dirasakannya. Aku tidak kuat melihatnya yang sangat kesakitan.

Setelah menjalani kemoterapi, aku membawanya jalan-jalan ke taman untuk menikmati udara musim gugur.

“Sungmin-ssi, sebentar lagi kau ulang tahun bukan?”  tanyanya.

“Ya, memangnya kenapa?”

“Ada hadiah yang paling kau inginkan?”

Aku pura-pura berpikir dengan meletakkan jari telunjukku di pelipis.

“Aku ingin pergi ke Amerika, bertemu dengan Lady Gaga,” celetukku. Raut wajahnya berubah.

“Kau penggemarnya Lady Gaga?” tanyanya tidak percaya. Oh, tampangnya itu lucu sekali. Seandainya ponselku tidak kutinggalkan di ruang rawat, saat ini pasti aku akan mengambil gambarnya.

“Aku hanya bercanda!! Kau itu gampang sekali percaya!!” aku tertawa terbahak-bahak.

“Lee Sungmin…”

“Ya?”

“Seandainya aku mati…apa kau akan melupakanku?”

“Kau itu kenapa, Tara? kenapa kau selalu bertanya tentang kematian? Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu?”

“Jika aku bertanya, kau hanya perlu menjawab!”

“Melupakanmu? Hm…tidak akan semudah mengucapkannya, sudahlah! Apa tidak ada topik yang lain??”

“Kalau begitu kau mau hadiah apa? Jangan katakan bahwa kau mau bertemu Lady Gaga!!”

*

“Selamat Ulang Tahun!!”

Baru saja aku datang ke ruang rawatnya, tiba-tiba Hyun-Hwa dan Byul-Hee, tentu saja juga Tara –yang duduk di tempat tidurnya –menyambutku. Mereka juga menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku. Ya, hari ini adalah ulang tahunku yang ke-20. Diatas tangan Tara terdapat kue tart dengan lilin berbentuk angka dua dan nol diatasnya.

“Sebelum kau tiup lilinnya, kau harus memohon satu permohonan,” ujar Tara.

Aku memejamkan mata dan mulai meminta sebuah permohonan kepada Tuhan. Hanya satu yang aku minta, aku memohon agar Tara diberi kesehatan supaya dia bisa terus bersamaku, saling melengkapi satu sama lain. Kemudian aku membuka mata dan meniup lilinnya.

“Maaf jika aku tidak memberimu hadiah, aku tidak tahu apa yang kau suka, waktu kutanya kau tidak meu menjawab, kau hanya menjawab bahwa kau ingin bertemu Lady Gaga,” keluhnya.

“Kau tahu, aku tidak perlu hadiah, aku hanya perlu kau, Tara. Tidak ada yang lain,” gumamku.

Tara tersenyum.

“Ya, Tuhan, hawa di ruangan ini panas sekali, apa yang terjadi dengan pendinginnya?” celetuk Hyun-Hwa.

“Iya, benar. Terlalu panas disini!” tambah Byul-Hee sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Kalian berdua, memang benar-benar menjengkelkan!” seruku. Mereka berdua langsung pergi keluar ruangan untuk memberikan waktu pribadi untuk kami.

Aku kembali menatap Tara dan juga…tangannya. Kuperhatikan tangannya terlihat seperti memar. Berwarna biru keunguan.

“Tanganmu kenapa?” tanyaku.

“Oh, ini, efek dari kemoterapi. Tak hanya itu saja, rambutku juga rontok, mungkin sedikit lagi aku botak,” gumamnya sambil tertawa.

“Kau tidak perlu khawatir Sungmin-ssi. Aku baik-baik saja…kau tahu, aku sudah merasa sangat lelah menderita seperti ini. Terus mengalami rasa sakit. Aku ingin semuanya berakhir…” gumamnya.

“Tara!”

“Aku tahu aku salah berkata seperti ini. Tapi aku memang sudah lelah,” ujarnya dengan raut wajah yang sangat sedih.

“Kau tidak boleh patah semangat seperti ini. Kau harus yakin bahwa kau akan baik-baik saja, dan kembali sehat…”

“Terima kasih atas dukunganmu,” gumamnya.

“Tara, besok aku harus keluar negeri,” raut wajahnya yang sedih sekarang berubah menjadi terkejut.

“Kau mau bertemu Lady Gaga?”

“Tentu saja tidak! Aku harus bekerja! Aku sudah menolak berkali-kali, tapi mereka terus memaksa, maafkan aku tidak bisa menemanimu…” aku menyesal tidak bisa menemaninya selama tiga hari kedepan.

“Kenapa kau harus minta maaf, aku tidak bisa memaksamu untuk tetap menemaniku. Tenang saja, masih ada Byul-Hee, teman-temanku juga orangtuaku yang akan menemaniku,” ujarnya.

“Jaga kesehatanmu, mungkin aku tidak akan bisa menghubungimu selama disana karena pasti aku sibuk sekali,”

“Tidak apa-apa, tak masalah,” dia tersenyum.

“Aku pulang dulu, ya…terima kasih buat semuanya juga kue tartnya,”

“Aku juga ingin berterima kasih…”

“Untuk apa?”

“Untuk semuanya, aku tidak bisa membalas semua yang telah kau berikan padaku,”

“Sama-sama,”

*

Tara POV

Aku lelah. Sangat lelah menanggung semuanya. Aku sudah tidak sanggup untuk menanggung rasa sakit yang telah kualami selama ini. Tubuhku sudah tidak kuat dan semakin lemah. Aku hanya bisa berdoa dan pasrah kepada Tuhan. Semua adalah kehendak Tuhan. Jika memang sudah saatnya aku lepas dari semuanya, aku siap…

*

Sungmin POV

Menyesal. Sungguh sangat menyesal. Semuanya terjadi begitu saja. Tak hanya tatapanku yang kosong, pikiranku juga kosong. Yang ada hanya kata ‘menyesal’.

Tara sudah lepas dari rasa sakitnya, tak hanya rasa sakit, Tara juga lepas dari dunia fana. Meninggalkan semua orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Upacara pemakaman Tara berlangsung dengan khidmat dan lancar. Menurut adat kepercayaan, jenazah baru akan dimakamkan tiga hari setelah kematiannya. Keluarga akan memilih satu diantara dua pilihan. Dimakamkan atau dikremasi. Keluarga Tara memilih untuk dimakamkan.

Semua pelayat yang hadir memakai baju serba hitam untuk menandakan bahwa mereka turut berduka cita atas kematian salan satu keluarga, anak, sahabat, juga kekasih. Semua teman-temannya datang untuk memberikan penghormatan terakhir untuknya.

Byul-Hee, sahabat terdekatnya, terlihat sangat terpukul atas kepergian Tara. Dia terus menangis tersedu-sedu disamping peti. Orangtua terus mengucapkan terima kasih kepada pelayat yang datang sambil menahan tangis.

Sedangkan aku? Aku hanya berdiri dipojok ruangan dengan tatapan kosong. Aku sangat menyesal karena tidak bisa berada disampingnya saat Tara akan menghadapi kematiannya. Harusnya aku tetap menolak tawaran kerja itu.

“Sungmin…aku tahu kau pasti sangat terpukul dengan kepergian Tara, tapi mau bagaimana lagi? Semua telah terjadi…Tuhan sudah berkehendak, kau memang sayang padanya, tapi Tuhan lebih sayang lagi padanya, mungkin inilah jalan yang terbaik buat Tara juga kita semua,” tutur Hyun-Hwa.

“Terima kasih atas dukunganmu…aku masih butuh waktu untuk sendiri…”

Aku pergi keluar untuk mencari udara segar. Aku duduk di taman sambil menghela napas. Dan tiba-tiba…aku merasa sudah tahan lagi. Aku menangis, sendirian. Kesedihanku sudah tidak terbendung lagi. Maafkan aku jika aku sekarang menjadi laki-laki yang cengeng, tapi itu karena aku sudah tidak bisa menahan rasa sedihku akan kehilangannya. Maafkan aku…

*

Satu bulan telah berlalu. Sekarang, aku sedang duduk sendirian dibawah pohon dipinggir pantai. Aku terus menatap kearah lautan luas, sesekali aku membayangkan bahwa Tara ada disampingku sambil tersenyum. Tapi itu tidak mungkin, itu adalah harapan yang mustahil.

Selama satu bulan ini, aku meliburkan diri untuk membangun kekuatanku yang sudah hilang akibat kepergian Tara. Dan sedikit demi sedikit aku sadar, bahwa aku harus terus bangkit dan maju untuk menghadapi masa depan, aku tidak boleh terus-terusan terpuruk dalam lubang besar hitam karena kesedihan. Aku harus membuktikan pada diriku sendiri, juga Tara bahwa aku bisa terus maju dan tidak hanya berdiam diri di tempatku sekarang.

Aku mengeluarkan sebuah buku biru. Buku milik Tara. Aku membukanya dan kemudian membacanya. Sesekali aku tersenyum dan tertawa kecil membaca bahasa-bahasa yang ia tulis. Dan beberapa menit kemudian, sampailah pada satu halaman kosong. Aku mengambil pulpen dan menulis beberapa kalimat didalamnya. Setelah itu aku merobeknya dan melipatnya membentuk sebuah perahu kertas. Aku berjalan menuju pantai. Aku melepaskan perahu kertas tersebut dan membiarkannya berlayar menuju tempat yang dia tuju, berapapun jauhnya. Teruslah berlayar ke tempat yang kau inginkan, dan sampaikan kata-kata itu padanya.


If I live my life again…
If I born over and over again…
I can’t live without you for a day…

You’re the one I will keep…
You’re the one I will love…
Because I’m happy enough if I could be with you…

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar