Sabtu, 23 April 2011

Taman Langit (Cerpen)

Mereka, tiga orang sahabat, berumur 9 tahun terdiri dari dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan bermain bersama. Dua orang diantara mereka yaitu, Alvin Jonathan Sindunata yang biasa dipanggil Alvin dan Alyssa Saufika Umari atau Ify berasal dari keluarga berada, sedangkan satu lagi, Cakka Kawekas Nuraga, berasal dari keluarga sederhana, yang bisa dikatakan kehidupan mereka pas-pasan. Dulu Cakka memang seperti Alvin dan Ify, merupakan keluarga berada, tapi sejak ayahnya meninggal, kehidupan ekonomi Cakka menurun. Tapi Alvin dan Ify tetap menerima Cakka apa adanya, tak peduli apa yang dimiliki oleh Cakka. Mereka tetap bersahabat dekat.

“Alvin, itu boneka Ify! Jangan di mainin!!” seru gadis yang dikuncir dua itu pada temannya yang sedang bermain dengan boneka Ify di atas perosotan.

“Ambil, Fy! Jangan teriak-teriak aja bisanya!” kata Alvin. Ify manyun dan berlari kearah Cakka yang sedang bermain ayunan.

“Cakka!! Bantuin Ify ambil boneka Ify! Bonekanya di ambil sama Alvin!” kata Ify sambil menarik-narik baju Cakka.

“Alvin, balikin dong bonekanya Ify! Kamu udah punya robot-robotan!” kata Cakka.

Akhirnya Alvin luluh dan memberikan boneka itu ke Ify. Alvin memang paling nurut sama Cakka. Diumurnya yang masih sangat muda, Cakka terlihat sangat mandiri. Mungkin karena ayahnya yang sudah meninggal dunia, mau tak mau Cakka harus bisa mandiri dan selalu menjaga ibunya.

Mereka berjalan menuju padang rumput kecil di taman tersebut, hanya disanalah mereka merasa tenang dan bisa melupakan masalahnya sejenak karena bisa melihat keindahan langit yang sangat luas dan tak pernah ada habisnya. Karena mereka menyebut taman tersebut dengan sebutan Taman Langit. Di taman langit itu pula mereka sering membicarakan tentang impian mereka saat dewasa nanti, dan mereka biarkan impian mereka tergantung di langit sampai mereka bisa meraihnya sampai setinggi langit di angkasa.

“Alvin, Cakka, mataharinya mau tidur, soalnya dikit lagi udah malem, kita gak pulang?” tanya Ify.

“Ntar dulu, Fy. Jarang-jarang kita bisa lihat matahari terbenam kayak gini bertiga. Iya kan, Cak?”

“Iya, Vin.”

“Eum, Ify mau nanya sama kalian, cita-cita kalian itu apa sih?” tanya Ify.

“Kalo aku ya, aku pengen jadi pilot, supaya aku bisa keliling dunia, kamu, Cak?”

“Aku pengen banget bisa ngebahagiain Bunda yang mulai sakit-sakitan, gak penting punya uang berapapun asal Bunda bisa bahagia ngeliat aku tumbuh dewasa dan menjadi orang yang sukses,” tutur Cakka.

“Waw, keren banget, Cak. Untuk anak umur Sembilan tahun kayak kamu,” puji Alvin.

“Kamu, Fy?”

“Kalo aku, aku masih bingung sama cita-cita aku sendiri, Vin.” Gumam Ify.

“Ify payah banget sih!” ledek Alvin.

“Alvin jahaat!! Cakka! Alvin tuuh!!” Ify pergi mengejar Alvin yang sudah kabur duluan. Cakka hanya tertawa.

Tiba-tiba seseorang memanggil Cakka dari kejauhan.

“Cakka!!”

Cakka menoleh kebelakang, seorang tetangganya menghampiri Cakka.

“Pak Adi? Kenapa, Pak?” tanya Cakka.

“Ibu kamu Cakka, Ibu kamu!”

Cakka Langsung berlari menuju rumahnya bersama tetangganya. Alvin dan Ify heran melihatnya.

“Cakka kenapa, Vin?” tanya Ify. Alvin hanya mengangkat bahu.

“Kita pulang aja yuk, Fy,” ajak Alvin. Ify mengangguk.

***

“Ify, bangun, Sayang…” panggil Mamanya.

“Eung, kenapa, Ma? Ify masih ngantuk,” rengek Ify.

“Ikut yuk ke pemakaman,” ajak Papa.

“Pemakaman? Ngapain? Siapa yang meninggal?” tanya Ify.

“Bundanya Cakka, Sayang,” jawab Mama.

“Bundanya Cakka? Bunda Rahma?” tanya Ify. Mama dan Papa mengangguk. Ify memeluk Mama dan Papanya. Ify dan Alvin sangat dekat dengan bundanya Cakka. Bunda Rahma menganggap Ify dan Alvin sebagai anak sendiri.

“Ayo, Fy. Siap-siap, Kak Rio udah nunggu di bawah,”

Begitu sampai di tempat pemakaman, Ify melihat Alvin sedang berdiri bersama Mama dan Papanya. Alvin memasang wajah murung. Ify melihat kearah Cakka yang sedaritadi menangis tanpa henti.

“Bundaa…jangan tinggalin Cakka, Bun…Cakka masih butuh Bunda…” gumam Cakka.

Papa Ify menghampiri Cakka dan memegang bahu Cakka.

“Cakka, udah ya, kalo kamu nangis terus, Bunda gak akan tenang di sana, katanya jagoan, jagoan gak boleh nangis,” tutur Papa Ify. Cakka menghapus air matanya dan mengangguk. Papa Ify memeluk Cakka dengan lembut.

Setelah pemakaman usai, Orangtua Ify dan Orangtua Alvin berbicara dengan tetangga rumah Cakka yang kebetulan sangat dekat dengan keluarga Cakka.

“Kak Rio, Mama sama Papa ngomongin apaan?” tanya Ify pada kakaknya.

“Gak tau, Fy,” jawab Rio.

“Alvin tau?” tanya Ify.

“Nggak, Fy,” kata Alvin.

Kemudian Ify melihat Cakka masih duduk di samping makam bundanya.

“Alvin, temenin Cakka yuk!” ajak Ify.

“Cakka…” panggil Ify. Cakka menoleh.

“Cakka jangan nangis lagi, masih ada Ify sama Alvin disini,” kata Ify dengan polos.

“Makasih, Fy. Makasih, Vin,” kata Cakka.

“Alvin! Ify! Ayo!” seru Mama Alvin dari kejauhan.

“Cakka, Ify sama Alvin pulang dulu ya,” pamit Ify.

“Hati-hati ya,” jawab Cakka.

***

“Ma, Pa, tadi ngomong apa sama tetangganya Cakka?” tanya Ify.

“Ify, tadinya Mama sama Papa mau mengajak Cakka buat tinggal bareng kita, Sayang,” kata Mama.

“Wah, Ify mau banget, Ma!” seru Ify antusias.

“Tapi, Pak Adi menolak, beliau menawarkan diri untuk merawat Cakka sebisa mungkin,” gumam Papa.

“Ooh,”

“Yaudah, kalian masih bisa main bareng kok, tenang aja,” kata Papa.

Ify tersenyum.

***

Empat tahun kemudian…

“Kak Rioo!! Ayo anterin aku ke sekolah! Aku kesiangan!!” teriak Ify.

“Aduuh, Ify, lagian sih bangunnya telat mulu, gue juga udah telat!” keluh Rio.

“Plis, Kak. Kan jarak sekolah aku sama Kakak deket, ayolaah,” rayu Ify.

“Heu, iya-iya, cepetan!”

“Asiiik!”

Sekarang Ify sudah kelas dua SMP di SMP Taruna Bangsa, tentu saja ia satu sekolah dengan Alvin dan Cakka. Cakka dibiayai sekolah oleh Orangtua Ify.

“Kak Rio, stop di sini aja!” suruh Ify.

Setelah motor Rio berhenti, Ify turun dari motornya. Begitu Ify melihat kearah gerbang sekolah, senyumannya merekah, Alvin dan Cakka berdiri di depan gerbang sekolah. Ify langsung berlari menghampiri mereka berdua. Rio yang melihatnya hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Mereka emang sahabat sejati,” gumam Rio.

Sementara itu,

“Fy, lama banget sih lo!” keluh Alvin.

“Biasa, Vin. Dia bangun telat,” celetuk Cakka.

“Tau aja sih kamu, Cak!” kata Ify sambil tertawa.

“Ketauanlah, muka lo tuh, masih kayak abis bangun tidur!” seru Cakka.

Ify manyun, dan kemudian menggandeng tangan mereka berdua.

“Ayo, masuk! Nanti gerbangnya ditutup!” suruh Ify.

Alvin, Cakka, dan Ify masuk bersama-sama menuju kelas mereka. Mereka menjadi pusat perhatian para murid SMP Tunas Bangsa. Bagaimana mereka tak jadi pusat perhatian, Alvin yang berwajah seperti orang Korea, Cakka berwajah tampan dan terlihat dewasa, dan Ify sang pianis cantik yang mulai terkenal karena resital yang ia adakan di JHCC tempo hari.

Kelas 8-5

“Ify sayaaang!” teriak Shilla.

“Pagi, Shil!” sapa Ify.

“Ify, pas resital, ya ampun sumpah lo keren banget!” puji Shilla.

“Thanks, Shil!” kata Ify.

“Gak nyangka, di umur lo yang baru 13 tahun, lo udah sukses banget!” seru Shilla.

“Jangan muji terlalu banyak, Shil! Ntar dia terbang!” celetuk Alvin.

“Apaan sih, Vin???” keluh Ify.

“Haha, betul lo, Vin!” kata Shilla.

“Vin, ayo duduk! Tuh guru udah dateng!” kata Cakka.

Pelajaran pertama adalah Matematika, yang diajari oleh Bu Karina. Pelajaran yang paling dibenci Alvin. Alvin benci hitung-hitungan, ia lebih suka bermain basket diluar.

“Siapa yang mau maju untuk mengerjakan soal di papan tulis?” tawar Bu Karina.

Seorang anak mengangkat tangannya. Bu Karina tersenyum.

“Silahkan Cakka,”

Cakka maju kedepan dan mengerjakan soal yang diberikan Bu Karina. Alvin hanya melihatnya dengan malas, kemudian matanya tertuju pada Ify. Ify memperhatikan Cakka sambil tersenyum. Alvin juga melihat saat Shilla menggodanya, pipi Ify bersemu merah. Membuat Alvin agak kesal.

“Bagus sekali, Cakka!”

Semua terkagum-kagum dengan kepintaran Cakka, Cakka termasuk anak yang cerdas di angkatannya, saat duduk di kelas tujuh, Cakka mengikuti lomba Matematika dan berhasil mendapatkan juara satu.

Saat istirahat,

“Cak, kamu keren banget tadi! Soal yang tadi itu kan susah banget!” kata Ify.

“Biasa aja kali, Fy.” Gumam Alvin enteng.

“Apaan sih, Vin? Aku kan lagi ngomong sama Cakka, bukan sama kamu!” seru Ify.

“Yaudah deh, terserah,” Alvin bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan mereka berdua.

“Cak, Alvin kenapa sih?” tanya Ify.

“Gue juga gak tau, Fy. O, iya thanks ya buat pujiannya,” kata Cakka. Ify tersenyum.

“Sama-sama, Cak,”

“Gue juga terima kasih sama lo dan orang tua lo, udah ngebiayain gue sekolah, sejak Bunda gue meninggal, gue gak tau gimana harus ngebales kebaikan keluarga lo,” gumam Cakka.

“Haha, That’s what friends are for, right?” kata Ify. Cakka terkekeh dan mengacak-acak rambut Ify.

“Pinter banget sih lo ngerangkai kata-kata,” kata Cakka. Sukses membuat pipi Ify merah merona.

Alvin yang melihatnya dibalik tembok, sedikit merasa cemburu dengan kedekatan mereka berdua. Terang saja, sejak kelas tujuh, Alvin menyukai Ify. Tapi Alvin menduga sepertinya Ify menyukai Cakka.

“Fy, cari Alvin yuk!” ajak Cakka.

“Oke,”

Mereka berdua mencari Alvin dan akhirnya menemukan Alvin sedang memantulkan bola basketnya di lapangan.

“Ternyata kamu disini, Vin,” kata Ify. Alvin hanya tersenyum masam.

“O,iya ntar kita ke taman langit yuk, udah lama kita gak kesana,” usul Cakka.

“Boleh juga,” kata Alvin.

“Ayo,”

***

“Masih inget  kan, Fy. Gue ngerebut boneka lo??” tanya Alvin.

“Yaiyalah, aku inget banget, kamu tuh lagi jahat-jahatnya, Vin!” seru Ify sambil mendorong bahu Alvin. Cakka terkekeh.

“Emang gue jahat kalo sama lo!” Alvin langsung kabur.

“Tuh, kan!! Alvin kamu tuh ya!!” Ify mengejar-ngejar Alvin di sekeliling taman.

“Hei, udahan kejar-kejarannya, liat tuh matahari terbenam!” kata Cakka.

Mereka pun duduk bertiga di padang rumput kecil itu sambil memandang langit.

“Rasa kagum aku, gak ada habisnya kalo ngeliat matahari terbenam, perpaduan warna yang terbentuk itu begitu melihatnya, rasanya nyaman banget, warna orange, warna merah, warna ungu, mereka bersatu padu membentuk kumpulan warna yang indah,” tutur Ify.

“Iya, gue suka kata-kata lo, Fy!” kata Alvin.

“Eum, gue mau nanya sama Ify, apa lo udah dapet cita-cita lo yang sebenarnya?” tanya Cakka.

“Sebetulnya belom, Cak. Aku masih bingung apa yang cocok buatku,” gumam Ify.

“Lo kan udah jadi pianis, Fy,” jawab Alvin.

“Tapi itu bukan cita-cita aku, Vin,” kata Ify.

“Yah, tenang aja, gue yakin kok, lo bakal nemuin cita-cita lo yang sebenarnya di suatu hari,” kata Cakka.

“I hope so,” gumam Ify.

Alvin hanya diam saja. Mereka menghabiskan waktu bersama sambil memandang matahari terbenam di taman langit.

“Hm, Fy. Vin,” panggil Cakka.

“Kenapa, Cak?” Tanya Alvin.

“Kalo misalnya gue tiba-tiba pisah sama kalian, lo masih nganggep gue sahabat lo atau nggak?” gumam Cakka.

“Maksud kamu apa, Cak?” tanya Ify.

“Ah, ng…nggak, gue juga mau bikin pengandaian, kok,” Cakka tersenyum masam.

***

Beberapa bulan kemudian…
Malam hari…

Ify sedang mengerjakan tugas bersama kakaknya di gazebo rumahnya.

“Kok lu susah banget ngertinya sih, Fy?” tanya Rio.

“Aku gak tau, Kak. Otak aku ketinggalan kali di kamar,” celetuk Ify.

“Ketinggalan di kolong meja??” tanya Rio nyolot.

Tiba-tiba Alvin datang dengan napas terengah-engah.

“Vin, kenapa lo? Abis lari marathon?” celetuk Rio.

“Nggak, Kak. Abis dikejar hansip! Fy, ikut gue!” kata Alvin sambil menarik tangan Ify.

“Ah, nggak ah, kan kamu yang punya masalah sama hansip, aku gak ikutan!” keluh Ify polos. Alvin nepok jidat.

“Aduh, itu cuma bercandaan Ify …pokoknya ikut gue ayo! Kak Rio, pinjem Ify ya!” kata Alvin.

“Ambil dah, kalo perlu langsung jual di pasar!”

“Alvin, tapi gak ada hansip kan?” tanya Ify polos.

“Nggak!!”

Rio yang melihat mereka hanya tertawa melihat tingkah laku dua orang sahabat yang masih kayak anak kecil.

***

Alvin dan Ify berlari menuju Taman Langit. Mereka melihat Cakka sedang duduk sendirian menatap langit yang di penuhi oleh bintang-bintang yang menerangi Taman Langit. Ify melihat wajah Alvin penuh dengan kemarahan.

“Cak, maksud lo apa??” tanya Alvin dengan nada tinggi. Ify tak mengerti apa yang Alvin katakan.

“Akhirnya lo berdua dateng juga,” kata Cakka.

Alvin menarik kerah Cakka.

“Jadi pengandaian yang lo omongin dulu itu beneran?? Lo mau ninggalin kita?” tanya Alvin.

“Maafin gue, Vin, Fy. Gue harus ikut paman sama bibi ke luar negeri, kalian berdua tau, ternyata ayah gue punya adik yaitu paman gue yang tinggal di luar negeri. Mereka nyuruh gue buat tinggal bareng mereka, karena mereka tak punya anak,” tutur Cakka. Alvin melepas genggamannya.

“Tapi, Cak..” gumam Ify.

“Maaf, Fy. Gue mau terus-terusan ngerepotin orang tua lo, terutama lo sendiri, Fy, lo udah terlalu baik buat gue, dan lo, Vin. Lo itu sahabat cowok yang bener-bener paling the best yang pernah gue temuin, cuma lo yang paling ngertiin gue, selain Ify,” kata Cakka.

Tiba-tiba Ify menangis, ia tak rela Cakka pergi meninggalkan dia dan Alvin.

“Cak, aku gak mau kamu pergi…kamu udah aku anggep kayak kakak sendiri, Cak…” gumam Ify lirih. Cakka tersenyum.

“Fy, jangan nangis lagi ya, gue yakin lo bisa tanpa gue, kan masih ada Alvin,” kata Cakka dengan lembut.

Kemudian Cakka memeluk mereka berdua, pelukan seorang sahabat.

“Vin, buat lo, tolong jagain Ify, gue yakin lo bisa jagain dia,” kata Cakka.

“Pasti, Cak,”

“Fy, lo jangan cengeng lagi, ya…gue gak mau liat lo nangis terus, oiya kalo Alvin jahil lagi sama lo, lo colok aja matanya,” celetuk Cakka.

“Haha, iya, Cak..”

“Disaat gini masih bisa lo bercanda, Cak!” keluh Alvin.

“Haha, supaya gak garing tau, lo berdua harus pegang janji gue, empat tahun lagi persis di tanggal yang sama, 15 Juli, gue bakal balik kesini, soalnya paman dan bibi gue bakal pindah ke Indonesia dan tinggal disini lagi bareng kalian, gue tunggu di sini, di Taman Langit, janji ya,” tutur Cakka.

“Iya, aku janji,” gumam Ify.

“Gue janji,” kata Alvin.

“Janji lo berdua gue pegang,” kata Cakka.

Besoknya, Cakka bersama pamannya terbang ke Amerika dengan pesawat jam Sembilan pagi tanpa Alvin dan Ify yang mengantarnya, karena jika mereka mengantar Cakka, Cakka pasti akan merasa berat untuk meninggalkan mereka berdua. Sekarang mereka hanya berdua saja. Tak ada lagi Cakka yang selalu memberi semangat ataupun nasihat, mereka harus menunggu selama empat tahun lagi untuk bisa bertemu dengan Cakka.

***

Empat tahun kemudian…
SMA Citra Negara

“KYAAA!! Alviin!!” semua murid perempuan berteriak menyebut-nyebut namanya. Saat ini Alvin beserta klub basketnya sedang demo ekskul untuk mempromosikan ekskul basketnya.

“Vin, lo keren banget, Bro!” seru Lintar.

“Thanks, Lin!” kata Alvin.

“Alvin! Lintar! Senyuum!!”

JEPRET!!

“Ify! Tampang gue sama Lintar lagi jelek tau!” keluh Alvin. Ify hanya nyengir.

“Elo kali yang jelek, Vin. Gue sih nggak!” celetuk Lintar.

“Asem lo!” ledek Alvin.

Saat ini Ify adalah anggota klub fotografi sekolahnya, dengan kamera SLR yang tergantung di lehernya, ia mengambil gambar yang menurutnya cocok untuk dijadikan objek.

“Vin, liat deh! Aku tadi ambil foto kamu tuh banyak banget!” kata Ify sambil memperlihatkan hasil potretannya.

“Wih, gue ganteng juga ya, pas nih buat PP gue di Facebook!” kata Alvin.

“Ntar dirumah aku, kamu pilih aja yang bagus!” kata Ify.

Setelah demo ekskul selesai, mereka berjalan menuju kelas mereka yaitu 12 IPA 2.

“Vin…”

“Hm?”

“Hari ini tanggal 15 Juli kan?” tanya Ify. Alvin mengangguk.

“Ya, kita bakal ketemu Cakka di Taman Langit sore hari nanti kan?” tanya Alvin.

“Ternyata kamu masih inget, Vin! Aku udah gak sabar mau ketemu Cakka,” kata Ify antusias. Alvin mendesah.

“Fy, lo itu suka ya sama Cakka?” tanya Alvin. Muka Ify bersemu merah.

“Kok kamu tahu?” tanya Ify malu-malu.

“Ketauan daridulu tingkah laku lo kalo di deket Cakka, pipi lo itu pasti merah!” kata Alvin sambil mencubit pipi Ify.

“Aduuh, Alvin! Sakit tau! Sini aku colok mata kamu!” seru Ify.

“Eh, gue tangkis!” kata Alvin.

Mereka main kejar-kejaran lagi di kooridor sekolah sampai membuat guru yang paling killer di sekolahnya, Pak Yanto, turun tangan.

“Alvin Jonathan! Alyssa Saufika! Jangan lari-larian di kooridor!!” teriak Pak Yanto.

“Eh, maaf, Pak! Khilaf!” kata Alvin.

“Kamu itu khilaf mulu kerjaannya! Dasar anak jaman sekarang!” gerutu Pak Yanto sambil berkeliling mengitari sekolah.

Alvin dan Ify tertawa bersama begitu Pak Yanto sudah pergi dari hadapan mereka.

***

Rumah Ify

“Fy, gue gak yakin, Cakka bener-bener bakal dateng,” gumam Alvin.

“Kok kamu gitu sih, Vin? Kamu gak percaya sama Cakka?” tanya Ify.

“Bukannya gitu, lo coba pikir, sejak tahun lalu, Cakka lost contact sama kita, gak pernah kirim surat lagi, email, atau pun telpon, kita gak tau kabar Cakka gimana, lo masih percaya sama dia?” tanya Alvin.

“Aku tetep percaya sama Cakka, Cakka pasti bakal dateng nanti, liat aja,” kata Ify.

“Will see,” gumam Alvin.

‘Tapi feeling gue bilang Cakka gak bakal datang, Fy..’ batin Alvin.

***

Taman Langit

Waktu menunjukkan pukul lima sore, Alvin dan Ify menunggu di padang rumput kecil tempat mereka menyaksikan matahari terbenam. Alvin melihat wajah Ify sangat berseri-seri. Ia tak sabar untuk melihat Cakka. Tapi sudah satu jam, Cakka tak kunjung datang. Matahari juga sudah tenggelam.

“Fy, pulang yuk, udah malem, nanti lo dicariin,” kata Alvin.

“Nggak, kita tunggu sebentar lagi aja, Cakka pasti dateng, mungkin di jalanan macet,” kata Ify.

“Yah, terserah deh,”

Satu jam lagi, mereka tetap menunggu di Taman Langit, waktu sudah pukul tujuh malam, tapi Cakka tetap tak kunjung datang. Alvin sudah hilang kesabarannya. Ia langsung menarik tangan Ify.

“Fy, ayo pulang! Cakka gak bakal dateng!” kata Alvin.

“Sebentar lagi!”

“Lo itu apa-apaan sih, Fy? Kita udah nunggu disini selama dua jam! Tapi sampai sekarang Cakka gak keliatan batang hidungnya! Lo mau nunggu disini sampe kapan? Sampe pagi??” tanya Alvin.

Tiba-tiba air mata Ify jatuh di pipinya.

“Tapi Cakka udah janji, Vin…” gumam Ify.

“Janji tetap hanya janji, Fy! Cuma bertahan sebentar! Cuma dimulut doang! Gue tahu lo suka sama Cakka, tapi gak sampe kayak gini, Fy! Bela-belain terus nunggu dia disini selama dua jam bahkan sampe pagi! Dia udah lupa sama kita! Dia gak pegang janjinya!” Seru Alvin.

Ify menangis, ia tak menyangka bahwa Cakka akan mengingkari janjinya. Padahal yang Ify tahu selama ini, Cakka selalu menepati janjinya pada Ify. Alvin memeluk Ify dengan lembut.

“Ayo, pulang, Fy. Udah lupain aja, persahabatan kita sama Cakka udah selesai, Cakka udah lupa sama kita, dia udah punya kehidupan yang baru,” kata Alvin. Mereka pun pulang kerumah.

***

Tiga bulan kemudian…

Ify merenung sambil memandang foto mereka bertiga saat pertama kali masuk SMP, Ify rindu akan masa-masa saat mereka bersama bertiga menghabiskan waktu di Taman Langit. Tapi di dalam hatinya sedikit merasakan rasa sakit, saat Cakka tak menepati janjinya tiga bulan lalu.

“Ify! Gak sekolah, Sayang? Alvin udah tunggu kamu di depan,” tanya Mama.

“Iya, Ma. Dikit lagi Ify turun!”

Saat ini Alvin dan Ify sudah menjadi sepasang kekasih, sebulan yang lalu Alvin menyatakan perasaannya pada Ify di Taman Langit. Dan Ify menerimanya, mungkin dengan berpacaran dengan Alvin, ia bisa melupakan dikit demi sedikit tentang rasa sayangnya pada Cakka.

“Lama banget sih, Fy,” keluh Alvin.

“Haha, maaf, Vin. Aku tadi lagi mandangin foto kita bertiga saat pertama kali masuk SMP,” kata Ify.

“Ooh, kamu belum bisa ngelupain Cakka, Fy?” tanya Alvin.

“Jujur, belum, Vin.” Jawab Ify.

“Yuk jalan,” ajak Alvin. Ify naik ke motornya Alvin dan motor Alvin langsung melesat pergi menuju sekolah.

***

SMA Citra Negara
Pulang sekolah…

Alvin dan Ify berjalan bersama menuju tempat parkiran, tapi tiba-tiba ada sepasang suami-istri yang menghampiri mereka berdua.

“Maaf, kalian Alvin dan Ify?” tanya seorang wanita paruh baya.

“Eng? Iya saya Alvin, ini Ify, ada apa mencari kami berdua?” tanya Alvin.

“Kenalkan, saya Yudha, dan ini Riska, kami Paman dan Bibi Cakka,” kata laki-laki yang ternyata adalah pamannya Cakka.

Mereka terdiam, kenapa paman bibi Cakka mencari mereka sampai kesini.

“Kami mau mengajak kalian untuk pergi ke tempat Cakka,” kata Bu Riska.

“Ke tempat Cakka?? Jadi Cakka disini?” tanya Ify antusias. Mereka berdua saling tatap dan tersenyum masam.

“Iya, ayo,” ajak Pak Yudha.

Alvin melihat wajah Ify sangat berseri-seri karena ia akan bertemu dengan Cakka.

“Vin, aku udah gak sabar mau ketemu Cakka!” seru Ify.

“Hm, ya, aku juga,” kata Alvin.

***

Taman Pemakaman

“Oom, kenapa kita kesini? Apa Cakka lagi ziarah ke makam Bundanya?” tanya Ify.

Pak Yudha dan Bu Riska tidak menjawab. Alvin sudah merasa tak enak begitu melihat gerak-gerik paman dan bibinya Cakka.

Mereka berdiri di sebuah makam sebelah Bunda Rahma, sebuah nisan yang bertuliskan nama Cakka Kawekas Nuraga. Ify mematung. Air mata jatuh di pipinya.

“Cakka!!!” Ify menangis terisak-isak.

“Fy, udah ya, jangan nangis, Cakka gak mau kan liat kamu nangis,” kata Alvin sambil memeluk Ify.

“Dulu Cakka tak bisa menemui kalian di tempat janjian kalian bertiga, karena…Cakka sudah tidak ada,” gumam Bu Riska dengan suara parau.

“Selama ia tinggal di Amerika, kesehatannya memburuk, saat kami membawanya ke dokter, dokter memvonis Cakka, bahwa Cakka mengidap Leukemia stadium akhir,” tutur Pak Yudha.

“Kalian tau, selama di Amerika, Cakka selalu bertanya pada kami, apakah kami jadi pindah di Indonesia, itu semua karena Cakka ingin sekali bertemu kalian, Cakka tak pernah melupakan janjinya, jadi tolong jangan menganggap Cakka mengingkari janji, ini sudah kehendak Tuhan yang tidak bisa mempertemukan kalian bertiga lagi,” kata Bu Riska sambil menahan air matanya.

“Maafin gue, Cak. Gue udah nganggep lo penghianat, gak tepat janji, gue gak tau…” gumam  Alvin.

“Cakka, maafin aku…” gumam Ify.

“Ini ada surat buat kalian dari Cakka, Tante sama Oom tinggal dulu ya, kami tunggu kalian di depan,” kata Pak Yudha sambil membawa Bu Riska untuk keluar dari kompleks pemakaman.

Alvin membuka secarik kertas yang sedikit ternodai oleh darah.

Untuk Alvin dan Ify…

Saat lo berdua baca surat ini, gue yakin gue udah ada di atas bersama Bunda gue, maaf selama ini kita lost contact, gue gak kirim surat, e-mail atau telpon lo berdua. Karena gue gak mau lo berdua tau bahwa gue sekarang udah jadi Cakka yang penyakitan, Cakka yang dikit lagi harus menemui ajalnya. Gue gak mau bikin lo berdua khawatir.

Buat Alvin
Lo bener-bener the real friend that I’ve ever met. Lo itu bener-bener sahabat cowok yang ngerti banget keadaan gue saat ayah gue meninggal. Lo itu anak paling jahil yang pernah gue temuin, gue seneng banget saat ide jahil lo itu keluar yaitu saat ngerjain Ify. Dan lo itu a good listener, lo sering denger kesusahan gue dan lo selalu siap ngebantu gue saat gue ada masalah. Pesan gue buat lo, lo harus tetep jagain Ify sebaik mungkin. Gue tahu lo itu suka sama Ify, ketauan dari gerak-gerik lo, hehe…jadi gue harap lo bisa ngejaga perasaan dia sebaik mungkin, jangan bikin dia merasa hancur, dia udah hancur saat gue ninggalin dia buat ke luar negeri. Gue yakin lo adalah orang cocok buat ngedampingin Ify. Lo yang pantes buat ngebahagiain Ify. Bukan gue…lo pegang janji lo…

Buat Ify
Same with Alvin, you are the real friend that I’ve ever met. Saat gue sering liat lo nangis, gue selalu bertekad dalam hati, bahwa gue harus ngejagain elo, karena gue gak mau ngeliat lo nangis. Lo lebih cantik kalo tersenyum. I like your smile. Lo itu bagaikan matahari buat gue, matahari yang selalu dibutuhkan oleh tanaman supaya bisa terus tumbuh dan tumbuh dan bisa menghadapi dunia yang keras. Sama kayak gue saat lo ada disamping gue, gue rasa dengan ada lo disamping gue, gue bisa menghadapi dunia yang bagi gue cukup keras. Terima kasih buat semuanya, Fy…pesan gue lo jangan cengeng lagi, ya…haha kasian Alvin liat lo cengeng terus, tolong jaga perasaan Alvin. Alvin sayang sama lo, gue yakin Alvin yang cocok buat ngedampingin lo, dan ngebahagiain lo, jadi tolong jangan sia-siain Alvin. Pesan gue yang terakhir, lo harus cepet-cepet nemuin cita-cita lo itu, nyari kerjaan berat lho..hehe

Kalian berdua tau? Tanggal 15 Juli itu, tanggal yang paling gue tunggu, karena saat itu gue bakal ketemu lo berdua. Tapi ternyata kenyataan berkehendak lain, kesehatan gue semakin memburuk, dan gue gak bisa bertemu lo berdua. Makasih buat semuanya yang udah lo berdua kasih buat gue, lo berdua adalah hadiah terindah dalam hidup gue. Gue bersyukur bisa punya kalian berdua, bisa bersahabat dengan kalian berdua. Gue harap saat gue udah gak di dunia ini, persahabatan kita bertiga terus terkenang selama hidup kalian berdua. Dan kalian bisa ceritakan ke keturunan kalian tentang persahabatan manis yang kita ukir.  Oiya jaga tempat kenangan kita bertiga ya, Taman Langit, kalo lo berdua lagi sedih, datanglah ke sana, gue yakin lo berdua bakal tenang. Friendship will never end…persahabatan tak akan pernah berakhir…

Alvin Jonathan Sindunata
Alyssa Saufika Umari
Cakka Kawekas Nuraga
Are friends forever…


Cakka Kawekas Nuraga


Ify masih menangis tersedu-sedu di samping makam Cakka sambil memeluk Alvin. Ify baru melihat pertama kali, Alvin menangis.

“Gue janji sama lo, Cak…lo pegang janji gue, gue bakal ngebahagiain Ify, karena lo udah kasih kepercayaan ke gue,” gumam Alvin sambil memandang langit.

“Cak, kamu tau, aku udah nemuin cita-cita yang bener cocok buat aku…” kata Ify.

“Apa, Fy?”

“Dokter, aku akan jadi dokter,” kata Ify optimis sambil menghapus air matanya.

“Lo liat, Cak. Gue sama Ify bakal ngeraih impian yang udah kita gantung di langit sejak kecil, and we can reach it someday when Ify and I grow up,” gumam Alvin.

“Fy, pulang yuk!” ajak Alvin sambil mengulurkan tangan. Ify tersenyum dan menyambut uluran tangan Alvin.

Sepuluh  tahun kemudian…
Mereka benar-benar menepati janji mereka pada Cakka, impian yang selalu mereka dambakan akhirnya mereka capai dengan mudah. Ify menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam, dan Alvin menjadi seorang pilot.

Jika kamu mempunyai sahabat, janganlah menyia-nyiakannya, genggamlah tangannya, dan katakan bahwa kamu menyayanginya. Karena kita tak tahu kapan kita dan sahabat akan terpisah atau bahkan tidak akan bertemu lagi. Jagalah terus persahabatan yang telah terjalin di dalam hatimu, karena persahabatan tak akan pernah berakhir meskipun telah dimakan waktu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar