Minggu, 24 April 2011

The Story of Us:Part 4

Part 4: Semua Telah Berubah

Ruang Makan

“Eh, Via mana sih? Kok tumben dia nggak keluar buat makan malam? Biasanya dia yang paling nafsu kalo soal makan…”

“Eh, iya juga ya,”

Di meja yang tak jauh dari tempat gadis-gadis itu mengobrol dan bertanya tentang Sivia, Ify memakan makanannya dengan malas sambil mendengar sedikit-sedikit obrolan mereka. Acha yang berada di sebelahnya memandang Ify dengan heran. Ini anak satu kenapa, batinnya.

“Fy? Lo kenapa? Kok lo lemes begini? Belum ketemu Kak Alvin? Besok disekolah juga ketemu,” celetuk Acha sambil cengengesan. Ify hanya tersenyum tipis tak sampai lima detik, setelah itu memandang makanannya lagi yang masih banyak memenuhi piringnya.

“Elah, gue heran deh. Sebenernya hari ini ada apaan sih? Pertama, Kak Via tiba-tiba nggak keluar kamar malam ini. Kedua, lo yang biasanya kalo makan bisa nambah dua piring jadi nggak nafsu makan malah cuma main-mainin sendok doang, lo sama Kak Via itu kenapa, Fy?” tanya Acha.

“Oiya, ngomong-ngomong tadi gue liat Kak Via abis maghrib jalan di lorong asrama dengan mata bengkak, menurut lo kenapa, Fy?” tambah Acha.

Tiba-tiba Ify bangkit dari duduknya. Acha pun tersentak begitu melihat reaksi Ify yang tiba-tiba berdiri dan mau pergi dari ruang makan.

“Lo mau kemana?”

“Gue mau ke kamar duluan, Cha. Gue capek, mau tidur,” jawab Ify. Ify berjalan dengan cepat keluar dari ruang makan dan segera menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar, Ify menutup pintu secara perlahan dan kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Otaknya terlalu lelah untuk memikirkan apa yang sudah terjadi tadi sore antara dirinya, Alvin, juga Sivia.

‘Ini salah gue…’ batin Ify. Ify menyalahkan dirinya sendiri, merasa bahwa dia adalah pelaku yang telah merusak hubungan persahabatan Alvin dan Sivia.

Suara lembut Taylor Swift yang berasal dari ponselnya berbunyi, pertanda bahwa ada sebuah panggilan masuk di ponselnya. Ify bangun dari tidurnya dan mengambil ponsel. Nomor siapa nih? Pikirnya. Sebuah nomor yang tak dikenal meneleponnya.

“Halo?”

“Ify?”

Jantungnya berdetak kencang begitu mendengar suara sang penelepon. Itu adalah suara Alvin.

“Kak Alvin? Kakak tahu darimana nomor gue?”

“Apa gunanya kakak lo yang ganteng itu kalo nggak punya nomor adiknya sendiri?”

Ify tertawa kecil. Ternyata Alvin bisa juga membuat sebuah joke yang bisa menenangkan pikiran Ify.

“Kak…”

“Ya?”

“Maafin gue, ya…”

“Maaf buat apa?”

“Gara-gara gue, lo sama Kak Via…”

“Ya, ampun, Fy! Ini udah yang kedua kalinya lo minta maaf sama gue, lo nggak perlu minta maaf, tenang aja, nggak usah dipikirin, sekarang lo tidur aja ya, supaya besok nggak kesiangan,”

“Iya, Kak. Makasih ya, Kak…”

“Sampai ketemu besok, Fy,”

Ify menekan keypad berwarna merah untuk mengakhiri pembicaraan. Seulas senyum terlihat di wajahnya. Perasaannya sudah sedikit lega begitu mendengar suara Alvin. Ify kembali berbaring ditempat tidur dan menarik selimutnya. Ify akan tidur nyenyak malam ini.

*

Asrama Laki-laki

“Rio! Bangun! Udah siang! Ntar lo telat, Yo!” seru Alvin yang sedang berusaha untuk membangunkannya.

Bukannya bangun, Rio malah semakin menarik selimutnya keatas sampai-sampai menutup kepalanya. Alvin melengos, ia segera menggoyang-goyangkan tubuh Rio supaya cepat bangun.

“Rio! Jangan ngerepotin gue!!”

BUGH!!

Tiba-tiba Rio memukul wajah Alvin dengan kepalan tangannya dengan mata tertutup, tepatnya sambil mengigau. Pukulan itu tepat mengenai hidung Alvin, sehingga hidung Alvin menjadi merah.

“Kampret lo, Yo! Kalo lo telat, gue nggak mau tahu! Gue duluan!!” Alvin segera mengambil tas dan blazernya, kemudian pergi keluar kamar.

Satu jam kemudian…tepat pukul tujuh, Rio baru membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Rio menggaruk-garuk kepalanya sambil memandang ke sekeliling kamar. Tempat tidur Alvin sudah rapi, dan pemiliknya sudah hilang entah kemana. Ah, mungkin dikamar mandi, pikirnya. Tapi tidak terdengar suara gemercik air yang keluar dari shower, itu berarti tidak ada siapa-siapa di kamar mandi. Rio mengambil jam wekernya melihat angka berapa yang ditunjukkan oleh jam weker. Jam weker itu menunjukkan jarum pendek berada di angka tujuh dan jarum panjang di angka dua belas. Mata Rio langsung melotot.

“HAH!!! GUE TELAAT!!!” Teriaknya. Rio langsung loncat dan segera pergi kekamar mandi hanya untuk gosok gigi, karena ia tidak punya waktu yang cukup untuk mandi.

Setelah selesai bersiap-siap, tanpa memperdulikan tempat tidurnya yang masih berantakan, Rio langsung pergi menuju sekolah.

*

Gerbang sekolah

Gerbang sekolah sudah terkunci rapat. Itu artinya, semua siswa yang telat datang, sekalipun hanya telat semenit, tidak boleh masuk ke dalam sekolah, mereka harus kembali lagi ke asrama. Rio berdiri tepat di depan gerbang sambil memandang sekolah dengan tatapan kecewa.

“Pak! Bukain dong, Pak!!” teriak Rio dari luar.

Pak Ruslan, satpam yang sudah bekerja selama lima tahun di SMA Veritas itu keluar dari pos jaganya dan melihat Rio dengan tatapan kesal sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.

“Mas Rio kan udah tahu sendiri kalo telat, gerbang nggak boleh dibuka buat siswa yang telat!! Udah, Mas Rio pulang ke asrama aja!!” suruh Pak Ruslan.

“Yah, Pak. Plis, Pak bukain…Bapak tahu, kan saya ini anaknya…”

“Anaknya pemilik yayasan ini yang sekaligus kepala SMA Veritas, kan? Bapak udah tahu sebelum Mas Rio masuk ke SMA Veritas. Mas Rio perlu tahu, waktu itu Papa Mas Rio ngomong sama saya, kalo Mas Rio atau Mbak Ify telat jangan dikasih hak istimewa, keenakkan katanya, jadi saya nggak bukain gerbang, maaf ya, Mas!” Pak Ruslan kembali kedalam posnya.

“Ah, Papa nih!!” decak Rio.

“Yah, tuh kan gue telat!!!”

Rio menoleh kesamping, Sivia juga telat masuk sekolah!

“PAK RUSLAAAN!! BUKAAA DONG PAAAK!!!” Teriak Sivia dengan suaranya yang menggelegar.

“Aduuh, Mbak Viaaa!! Ini bukan hutan, Mbak!! Jangan teriak keras-keras, semua lagi pada belajar!” seru Pak Ruslan.

“Pak, tolong, Pak! Bukaa…” pinta Sivia.

“Nggak bisa, Mbak. Maaf ya, Mbak!”

Rio melirik Sivia sambil menahan tawa. Baru kali ini Rio melihat Sivia dengan tampang memelas memohon-mohon pada Pak Ruslan untuk meminta gerbang dibuka. Sivia langsung menatap Rio dengan tatapan menyeramkan.

“APA LO LIAT-LIAT!!” Rio terlonjak kaget.

“Eh, biasa aja kali teriaknya! Lo itu abis nelen toa ato mic sih? Suara lo bombatis banget!” seru Rio.

“Bukan urusan lo, jelek!”

Mereka masih berdiri di depan gerbang dengan keadaan diam tanpa suara.

“Vi…”

“Apa?”

“Gue laper…”

“Apa urusannya sama gue? emangnya gue gudang logistik?”

“Yee, gue kan cuma ngomong! Hmm…temenin gue makan, yuk!” ajak Rio. Sivia memandang Rio heran.

“Apaan?”

“Temenin gue makan, ayo!!” Rio langsung menarik tangan Sivia dan membawanya pergi. Sivia merasakan ada perasaan nyaman dan sangat hangat saat Rio menggenggam tangannya.  Tiba-tiba Sivia salting begitu melihat tangannya digenggam oleh Rio.

‘Ah gue kenapa jadi salting kayak gini? Udahlah nggak usah dipikirin!’

Rio mengambil motornya yang terparkir di sebuah lapangan parkir milik asrama laki-laki Veritas.

“Nih, pake!” Rio memberikan sebuah helm pada Sivia.

“Kita mau kemana?” tanya Sivia.

“Ntar juga lo tahu! Lo ikut aja sama gue!”

Sivia memakai helmnya dengan paksa. Karena sepertinya helm itu terlalu kecil di kepala Sivia.

“Rio! Helmnya nggak muat di kepala gue!!” Sivia membuka helm yang tadi dipakainya dengan paksa.

“Ah, elah! Kepala lo gede amat sih kayak kepala doraemon!” ledek Rio. Sivia langsung menginjak kaki Rio dengan keras.

“Anjrit!! Sakit!!” ringisnya sambil memegang kaki yang baru saja diinjak Sivia.

“Sini deh, lo pake helm gue!” Rio memakaikan helmnya pada kepala Sivia. Wajah Sivia langsung memerah begitu melihat Rio yang sedang memakaikan helm padanya.

“Muka lo kenapa merah?”

“Ah! Bacot! Nggak usah liat-liat lo!!”

“Kalo cara ngomong lo kayak preman gitu mana ada yang mau sama lo!” seru Rio sambil menyalakan mesin motornya.

“Cepetan naik!!” tambahnya.

Sivia langsung naik ke motor Rio, kemudian motor itu melesat pergi menuju tempat yang mereka tuju.

*

Kantin

Jam istirahat para murid SMA Veritas mulai memenuhi kantin, kantin tersebut seakan-akan seperti sebuah pasar tradisional yang dipenuhi oleh ibu-ibu karena banyaknya murid yang berada di area tersebut.

Ify melihat ke sekeliling kantin, tapi orang yang dicarinya itu tidak tampak sama sekali. Hari ini, padahal Ify sudah berencana untuk meminta maaf pada orang tersebut.

“Hayo lo! Ketauan lo ya nyariin Kak Alvin!!” seru Acha yang tiba-tiba mendorong punggungnya.

“Apaan sih, Cha? Gue bukan nyari Kak Alvin!” sanggahnya.

“Terus nyari siapa?”

“Lo nggak perlu tahu!”

“Ish, jutek banget lo, Fy!” keluh Acha sambil memanyunkan bibir.

“Si Ify kenapa tuh, Cha?” tanya Ray yang baru saja datang dan duduk disamping Acha.

“Tahu, tuh!”

“Eh, Ray! jauh-jauh lo dari Acha! Cuma gue yang boleh duduk di samping dia!” seru Ozy.

“Apaan sih lo, Zy!? Terserah lo deh!” Ray pindah duduk disamping Ify.

“Apa lo deket-deket gue!!” bentak Acha.

“Yah, masa gue nggak boleh sih deket sama calon pacar?” tanya Ozy dengan nada sok imut.

“Siapa yang mau jadi pacar lo! Pacaran sana sama tembok!!”

“Hei, kayaknya rame banget disini…” Ify menoleh, Alvin sudah berdiri depan meja mereka sambil tersenyum.

“Eh, ada Kak Alvin…” kata Acha sambil cengengesan.

“Hmm…gue boleh minta waktu buat ngobrol berdua sama Ify?” tanya Alvin.

“Kak Alvin mau nembak Ify??” tanya Ozy dengan polos. Acha dan Ray langsung menoyor kepala Ozy.

“Asal ngomong aja lo, Zy!! Ayo, pergi! Kita bertiga pindah tempat ya, Kak!” seru Ray sambil menarik Ozy, diikuti oleh Acha.

Alvin duduk didepan Ify sambil memandangnya. Ify sedang menggigit bibir sambil menatap kesekeliling kantin dengan wajah kecewa.

“Lo nyari Via?” tanya Alvin. Ify mengangguk pelan.

“Via nggak masuk,”

“Beneran, Kak?” tanya Ify.

“Iya, tadi gue kekelasnya terus nanya sama temennya, Via nggak masuk,” jawab Alvin.

“Padahal gue mau minta maaf sama Kak Via, sumpah, Kak gue ngerasa bersalah banget sama Kak Via…” keluh Ify sambil menutup wajahnya.

“Lo keras kepala banget ya, Fy. Kan udah gue bilang nggak usah dipikirin, lo masih aja tetep mau minta maaf,”

“Meskipun lo bilang nggak papa, tetep aja gue ngerasa bersalah, gue ngerasa kalo gue itu parasit diantara kalian berdua yang udah ngerusak hubungan kalian berdua,” tutur Ify. Alvin tersenyum.

“Jangan anggep diri lo parasit, emangnya lo bakteri?” celetuk Alvin.

“Kak, jangan bercanda dong! Gue lagi nggak mau bercanda!”

“Siapa yang bercanda? Gue nggak bercanda! Lo jangan anggep diri lo parasit, belum tentu orang-orang disekitar lo itu menganggap lo parasit kan?” Ify terdiam.

“Kalo emang lo bener-bener mau minta maaf sama Via, gue temenin…”

“Nggak usah, Kak. Gue mau minta maaf sendiri, gue bisa sendiri, kok,”

“Oke kalo itu mau lo,”

“Ngomong-ngomong Kak Rio kemana? Kok nggak keliatan?” tanya Ify.

“Telat, dia udah gue bangunin, tapi nggak bangun-bangun!”

“Dasar kebo!” keluh Ify sambil tertawa. Alvin menatap Ify dengan senyum mengembang dibibirnya.

“Kak, kenapa ngeliatin gue terus?” tanya Ify salting.

“Gue seneng akhirnya lo ketawa lagi, kemarin kan sejak Via marah sampe tadi lo murung mulu,” jawab Alvin.

“Kak Alvin sumpah gue salting banget!! Maluu!!!” seru Ify sambil menutup wajahnya yang merah. Alvin tertawa lepas.

“Oya, nanti pulang sekolah mau nggak gue traktir eskrim?”

*

Café

Mulut Rio terbuka secara perlahan melihat gadis yang ada didepannya saat ini. Gadis itu –Sivia- sudah menghabiskan dua piring makanannya dengan cepat.

“Yo, gue pesen satu piring lagi ya!”

“Heh! Cewek macem apa lo?? Cantik-cantik nafsu makannya kayak gajah nggak dikasih makan dua hari!”

“Bacot lo, Yo! Gue mau nambah lagi, lo yang bayar kan?”

Rio mengambil dompetnya dan melihat apa yang di dalamnya. Uangnya mungkin tidak cukup untuk membayar makanannya, tapi dia masih bisa sedikit bernapas lega. Kartu kredit yang diberi Papanya bisa menjamin dirinya dan Sivia tidak akan mencuci piring di dapur café ini.

“Vi…gue mau nanya dong,”

“Nanya apaan?” tanya Sivia dengan makanan yang masih penuh dimulutnya.

“Jorok lo! Kunyah dulu, baru ngomong!!” seru Rio.

“Lo kan nanya! Makanya gue jawab!”

“Kemaren lo nangis kenapa?” tanya Rio. Sivia menghentikan kunyahannya dan menatap Rio.

“Lo nggak perlu tahu, Yo…”

“Vi, gue rasa masalah lo itu udah jadi beban di hati lo, lo nggak mau kan kalo masalah lo itu jadi berat karena lo pendam sendiri kan? Apa gunanya orang-orang yang disekitar lo? Mereka ada buat lo dan mendengar semua cerita lo…”

“Lo beneran mau tahu?”

“Kalo itu bisa ngebuat pikiran lo jadi lebih tenang, gue siap ngedengerin kok,”

Sivia menghela napas dan memulai ceritanya tentang pertengkaranya dengan Alvin dan Ify. Rio mendengarnya dengan serius.

“Gue…bukannya ngebela Alvin karena Alvin sohib gue, tapi…Alvin bener, Vi. Nggak selamanya seseorang menemani sahabatnya terus, dia juga punya kehidupan sendiri, dan lo tahu kan orang yang ada disekitar Alvin nggak hanya lo doang, masih ada orang lain, contohnya gue dan Ify, mungkin saat itu hanya ada Ify, jadi lo jangan bersikap negatif sama Alvin…”

“Iya, gue tahu, Yo…gue udah nggak mikirin soal itu lagi, tapi…gue jealous, Yo! Gue jealous!” seru Sivia sambil menahan tangis. Rio terdiam. Jealous? Apa maksudnya jealous? Pikirnya.

“Jealous?”

“Iya, gue jealous ngeliat Ify deket sama Alvin, dan Alvin ngerasa nyaman banget disamping adik lo itu!”

“Lo…suka sama Alvin?” gumam Rio dengan nada pelan.

“Iya…gue suka sama Alvin…” jawab Sivia. Rio menghela napas panjang.

“Sampe sekarang?”

“Mungkin…”

“Kalo lo suka sama Alvin, lo bilang…daripada Alvin kesosor duluan sama yang lain, apalagi adik tiri gue itu, semangat, Vi! Sekarang lo jangan nangis lagi, ternyata singa gunung macem lo bisa nangis juga ya…” celetuk Rio sambil mengusap air mata Sivia dengan tissue.

“Ngelawak mulu lo ah, bisanya!!” sivia langsung tertawa. Rio tersenyum.

‘Sorry, Vi…gue nggak bilang kalo Alvin suka sama Ify…’

*

“Kak, thanks traktiran eskrimnya, apalagi gue sampe nambah, nggak enak nih gue sama lo, hehe…” ucap Ify.

“Nyantai, Fy…eskrim sih nggak papa, kalo makanan berat, gue bisa mencak-mencak kalo lo nambah, haha…”

“Kak Alvin, kalo misalnya Kak Via nggak mau maafin gue gimana?” tanya Ify.

“Lo jangan bersugesti kayak gitu ah, lo tenang aja, Via nggak sejahat itu kok,” kata Alvin.

“Gue harap sih gitu…jujur gue lebih suka ngeliat Kak Via yang mencak-mencak dan ngehukum gue nyuci baju daripada ngeliat dia marah dan nggak keluar dari kamar kayak kemaren malem,” gumam Ify. Alvin tertawa.

“Haha, bener juga sih…”

“Fy…”

“Ya?”

“Kalo lo butuh gue, gue siap nemenin lo kapanpun lo mau,” gumam Alvin.

“Meskipun itu tengah malem?”

“Iya gue belain bangun tengah malem, asalkan gue nggak liat lo kayak gini lagi…janji?” Alvin menunjukkan jari kelingkingnya. Ify tersenyum dan menautkan kelingkingnya di kelingking Alvin.

“Janji!” seru Ify.

“Kita pulang, yuk…udah sore,” ajak Alvin. Ify mengangguk.

*

“Yo, thanks banget buat lo hari ini. Lo udah nraktir gue, ngajak gue jalan-jalan, sama ngedengerin cerita gue, gue sedikit agak lega sekarang…”

“No problem, tapi…kapan-kapan gue nggak mau ajak lo makan lagi ya, limit ntar kartu kredit gue, haha…”

“Songong lo, Yo!” disaat Sivia tertawa, Sivia melihat Alvin dan Ify berjalan bersama menuju depan gedung asrama perempuan, tempat Sivia dan Rio berdiri.

“Kenapa, Vi?” Rio menoleh dan mendapati Ify dan Alvin sedang berjalan kearah mereka.

Sementara itu, Ify dan Alvin melihat Sivia dan Rio berada di depan gedung asrama perempuan.

“Fy? Sekarang?” tanya Alvin. Ify mengangguk.

Ify berlari menuju Sivia dan Rio. Ify langsung memegang tangan Sivia dan meminta maaf padanya.

“Kak Via…maafin gue ya…gue nggak bermaksud bikin lo marah dan bikin lo sama Kak Alvin berantem…”

Sivia langsung menarik tangannya dengan paksa. Begitu melihat wajah Ify yang memohon-mohon, rasa kesal Sivia muncul kembali  karena teringat lagi dengan kejadian kemarin.

“Jangan sentuh gue! gue…benci banget sama lo, Fy!” seru Sivia.

“Via!! Ify udah minta maaf sama lo!” seru Alvin sambil memegang bahu kecil Ify.

“Apa? lo mau belain Ify? Itu yang paling gue benci dari lo, Vin! Lo terlalu memihak pada Ify! Lo itu sekarang berubah, Vin! Sejak ada Ify, lo berubah!!”

Rio hanya diam saja melihat perseteruan Alvin dan Sivia. Karena suara mereka yang terdengar sangat kencang, semua murid berlari menuju tempat kejadian dan menonton mereka berempat dengan penasaran.

“Vin, Rio udah nyadarin gue kalo gue emang terlampau egois, gue akuin gue egois karena gue terlalu ngatur-ngatur hidup lo yang notabene adalah ‘sahabat’ gue. Tapi ada satu hal yang masih bikin gue kesel sama lo, gue kesel ngeliat lo deket sama Ify!! gue jealous, Vin!! Apa lo nggak sadar sama sekali? Gue itu suka sama lo! ” Tangis Sivia sudah tak tertahankan karena sudah terlalu sesak untuk ditahan.

“Lo suka sama gue? Maafin kalo selama ini gue nggak sadar, gue emang cowok paling bego karena gue nggak peka sama lo, tapi…sori, gue suka sama Ify, Vi…gue nggak bisa nerima perasaan lo…” gumam Alvin. Ify tertegun mendengarnya.

“Lo suka sama Ify?? Oke, sekarang terserah lo! Gue udah nggak peduli lagi!!” Sivia berlari meninggalkan mereka berempat dan murid-murid yang menonton.

“Lo semua apa-apaan sih disini! Cepetan pada balik ke dalem!” seru Rio. Terdengar sorak-sorai murid yang sedikit kecewa karena tontonan mereka sudah selesai.

“Yo…” panggil Alvin.

“Gue kejar Sivia dulu,” Rio berlari menyusul Sivia.

Alvin memandang bayangan Rio yang semakin lama semakin kabur. Kemudian Alvin melihat Ify yang mulai menangis.

“Fy…lo nggak papa, kan? maafin sikap Via, ya…”

“I…iya, nggak papa, Kak…tapi, tadi lo beneran? Lo suka sama gue?” tanya Ify sambil mencoba untuk berhenti menangis.

“Iya, gue suka sama lo…”

“Gue…makin nggak enak sama Kak Via, gue tahu pasti Kak Via sakit hati banget…” gumam Ify.

“Udahlah, nggak usah dipikirin, sekarang lo masuk aja kedalem, istirahat…besok gue tunggu didepan sini, kita berangkat bareng ke sekolah, ya?” Ify mengangguk.

“Makasih, Kak…”

“Sama-sama, Fy,”


*

“Via…” Rio melihat Sivia yang menangis di bawah pohon dengan tatapan sendu. Matanya merah dan sebentar lagi akan membengkak.

“Gue benci Alvin, Yo…gue benci…” seru Sivia sambil terisak-isak.

Rio berjongkok didepan Sivia sambil terus menatap kedua mata merah gadis itu. Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung memeluk Sivia dengan lembut. Rio menghela napas panjang dan kemudian kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

“Vi…gue…suka sama lo…”


*




1 komentar:

  1. cerpennya Keren.. :) buat dong next partnya.. ;) yah... :) Makasih (y)

    BalasHapus