Sabtu, 23 April 2011

Sepenggal Kisah Manis di Masa Putih Abu-Abu -1-

Sepenggal Kisah Manis di masa Putih Abu-Abu

9 Juli 2007

Hari ini adalah hari pertama kali aku memasuki masa SMA, dengan masih memakai seragam putih-biru, rambut dikuncir tiga dengan pita sesuai warna kelompokku yaitu biru mudah dan juga name tag dengan warna senada aku memasuki gerbang sekolah baruku, SMA Pusaka Bangsa. Aku memandang kesekeliling wilayah sekolah, teman-temanku yang kebetulan juga masuk SMA ini belum juga datang. Aku melirik jam tanganku, tujuh kurang 15 menit. Aku menunggu sendirian di depan pos satpam, beberapa menit kemudian…

“Achaaaa!!!”

Aku menoleh kearah luar gerbang, senyumku merekah, teman SMPku  yang berpenampilan sama denganku pun datang. Napasnya tersengal-sengal akibat berlari karena takut telat.

“Acha, maaf gue telat! Gue bangun kesiangan!”

“Yailah, kamu, Fy…kamu kan emang selalu bangun telat,” keluhku. Sahabatku yang bernama Ify itu memang biang telat. Ify hanya nyengir.

“Haha, maaf ya, Cha, ayo masuk kekelas, ntar dimarahin sama anak OSIS lho!” ajak Ify.

Aku dan Ify berjalan menuju kelas kelompok kami yang tak jauh dari gerbang sekolah.

“Hei, kalian ayo cepet masuk!!” seru salah seorang pengurus OSIS yang tak lain adalah...kakakku sendiri, Kak Cakka.

Tiba-tiba Kak Cakka menarik lenganku dan membawaku menjauhi kelas.

“Kok lo telat sih masuknya?” bisik Kak Cakka.

“Acha nungguin Ify dulu di depan gerbang, dia kan biang telat,”

“Nyeh, dasar, udah sono masuk,” Kak Cakka menoyor kepalaku dengan gampangnya. Memang seperti itulah Kak Cakka, menganiayaku seenak jidat.

Aku memasuki kelas dan duduk disamping Ify. Kemudian seorang laki-laki yang sudah dipastikan anggota kelompokku juga, duduk di depan mejaku dengan Ify. Laki-laki itu mempunyai mata besar, tampangnya yaa…lumayanlah, keren…terus tinggi, tapi terlihat aneh dengan penampilan seperti itu, ya namanya juga tuntutan. Dia menengok kearah belakang tepatnya, kearahku. Otomatis mukaku merah begitu melihat senyuman manisnya.

“Hei nama gue Deva, lo siapa?” tanya laki-laki yang sekarang aku ketahui namanya. Dia mengulurkan tangannya.

“A…aku Larissa, tapi kamu panggil aja aku Acha,” kataku sambil membalas uluran tangannya. Tiba-tiba ia menatapku heran.

“Kok tangan lo basah ya? Keringetan?” tanya Deva.

“Ha?” aku melihat telapak tangan kananku, aku hanya nyengir.

“Hehe, maaf ya…” kataku sambil mengelap tanganku di rok.

“Lo namanya siapa?”

“Gue Ify,” jawab Ify singkat.

“Ouh, Ify yaa…kok jutek banget sih, Mbak?” goda Deva.

“So? What?” tanya Ify balik.

“Woelah, nyantai kali, Mbak Ipii…gua kan cuma nanya doang, selow dong,” seru Deva. Ify manyun.

“Hei, gue Ify, bukan Ipi, Depa!” balas Ify.

“Nyeh, bales gue!” decak Deva.

Aku hanya tersenyum, sejak saat itu aku mengenal Deva, dan berteman dengannya.


11 Juli 2007

“Aduh gawat! Aduh gawat!” seruku panik sambil merogoh tasku. Deva menoleh kebelakang.

“Kenapa, Cha?” tanya Deva yang

“Aku lupa bawa coklat!!”

“Ya, ampuun kamu gimana sih?”

“Aku lupaa…minta tolong sama Kak Cakka juga percuma, dia gak bakal nolongin aku,” gumamku.

“Lho, kenapa?”

“Dia kan pengurus OSIS, Dev…meskipun dia kakakku, tapi kalo udah ada peraturan gak boleh membantu anak kelas satu ya gak bakal bisa…” aku hampir mau menangis, aku takut dihukum oleh anak-anak OSIS, ya memang inilah aku, jika aku mempunyai masalah, aku akan panik, dan menangis. Aku memang cewek cengeng.

“Nih!”

Aku menatap Deva dengan penuh heran. Dia memberiku coklat miliknya.

“Ha? Ini?”

“Ambil, Cha…”

“Itu punya kamu, Dev. Ngapain dikasih ke aku? Nanti kamu dihukum,” aku menolak coklat dari Deva.

“Yah, lebih baik gue yang dihukum daripada lo, lo bakal malu-maluin kakak lo, ayolah, Cha!” bujuk Deva.

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang, Deva memang baik.

“Tapii…”

“Cha, gue gak mau liat lo dihukum, lo pasti bakal nangis, gini aja lo udah nangis, apalagi nanti dihukum,”

Aku berpikir sejenak dan kemudian aku mengambil coklatnya.

“Makasih, Dev…”

Deva tersenyum, senyum yang ditujukan untukku. Mukaku semakin memerah, jujur aku sangat senang dia sangat perhatian padaku.

“Ecieee…pagi-pagi udah pacaran nih yee…baru juga kenal dua hari..” Ify yang baru datang tiba-tiba menggoda kami berdua. Mukaku merah (lagi). Aku malu. Untung aja anak-anak yang lain banyak yang belum datang, hanya aku, Deva, Ify, dan dua orang lainnya.

“Ify apaan sih?” keluhku.

“Lo jealous yaa??” goda Deva sambil memainkan alisnya yang tebal.

“Apaan sih lo, Dev! Jelek lu!” ledek Ify.

“Yeeeh, dasar cungkring!”

“Kalo gua cungkring, lo apa, nyoong?”

“Gua ganteng!”

Pagi itu terjadi perdebatan yang tak penting antara Ify dan Deva. Mereka keliatan sangat akrab, seperti sudah mengenal sejak lama, Ify adalah orang yang supel, juga bawel, sehingga Ify gampang akrab dengan orang lain. Sedangkan aku? Aku masih malu-malu untuk mengajak Deva mengobrol, paling tidak Deva yang mengajakku ngobrol, Deva sama seperti Ify, gampang akrab. Tapi karena keakraban mereka entah kenapa aku merasa…jealous ya? Aku iri sama Ify bisa sedekat itu dengan Deva…


13 Agustus 2007

Aku, Ify, dan juga Deva semakin lama semakin dekat, kami selalu pergi bertiga, tapi ada saatnya juga kami tidak pergi bersama, Deva pasti ada acara dengan teman satu ekskulnya yaitu fotografi, Ify dengan ekskul tari tradisionalnya dan aku dengan OSIS.

Saat ini kelasku, X.1 sedang ulangan Kimia, kebetulan Kimia adalah pelajaran favoritku. Jadi aku mengerjakan dengan semangat. Tiba-tiba Ify mencolek lenganku. Aku menoleh kearah Ify. Ify memandangku melas. Dia memang lemah dalam pelajaran Kimia.

“Cha, bantu gue…” bisik Ify.

Aku menengok kearah meja guru, aahh…aman, Bu Winda sedang berkutat dengan BBnya. Aku menggeser lembar jawabanku supaya Ify bisa melihatnya. Dengan cepat, Ify langsung menyalin jawabanku. Sesekali aku melirik kearah meja guru. Begitu Bu Winda menatap ke sekeliling kelas, aku langsung menarik lembar jawabanku.

“Psst! Psst!”

Aku menghiraukan suara tersebut aku takut ketahuan sama Bu Winda. Aku pura-pura saja mengerjakan soal, padahal sudah selesai daritadi.

PLUK!

Sebuah kertas mendarat di atas mejaku, aku membuka kertas yang dibuat seperti bola tersebut dengan pelan-pelan.

Cha, bantuin dong, gue sama sekali belom ngerjain satupun!
Deva

Aku melotot menoleh kearah Deva. Deva hanya nyengir dan melambaikan tangan padaku. Baru saja aku mau menulis jawaban di kertas, tiba-tiba…

SRET!

Kertasnya diambil oleh Bu Winda. Mukaku pucat, begitupun Deva. Ify hanya geleng-geleng kepala.

“Larissa! Deva! Keluar kalian dari kelas!!”

Dengan lemas aku langsung bangkit dari tempat dudukku dan berjalan bersama menuju keluar kelas. Aku menghela napas panjang.

“Cha, maafin gue ya, gara-gara gue lo jadi kena juga,” gumam Deva. Aku hanya tersenyum.

“Gak papa,kok, Dev,” jawabku.

“Kita ketaman aja yuk, Cha!” ajak Deva, aku dan Deva berjalan menuju taman dan menikmati udara segar.

“Cha, padahal kita baru kenal sekitar satu bulan, tapi kita udah bisa sedekat ini ya, hehe…” gumam Deva sambil memandang kearah langit.

“Iya, ya, kamu tau gak, Dev. Aku itu paling susah yang namanya bergaul, tapi entah kenapa aku bisa langsung akrab sama kamu ya?”

“Mungkin karena kita cocok?” Deva tersenyum padaku. Senyumnya itu membuat hatiku terasa senang, aku suka dengan senyumnya.

Seandainya senyumnya itu hanya ditujukan padaku…ah kamu mikir apa sih, Cha? Lupakan…

“Cocok ya?” gumamku sendiri.

“Aku seneng, Dev. Punya temen kayak kamu,” lanjutku.

“Gue juga seneng, Cha. Bisa temenan sama cewek cantik kayak lo, hehe..” kata Deva sambil terkekeh.

Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat, sangat cepat, mukaku pun merah dan panas, saat ini di pikiranku juga dibenakku dipenuhi oleh nama Deva. Hanya Deva. Apakah aku mulai menyukainya?


10 September 2008

Aaaah…sudah berapa lama ya aku memendam perasaanku pada Deva? Yaa..sekitar satu tahun mungkin. Di masa-masa kelas sebelas ini, kami semakin sibuk karena beban tugas organisasi yang diserahkan ke anak kelas sebelas. Aku sibuk mengurusi OSIS karena saat ini aku mendudukin  jabatan Wakil Ketua OSIS, Ify menjadi pengurus ekskul tarinya dan Deva menjadi ketua ekskul fotografi.

Aku sedang berjalan menyusuri kooridor sekolah sendirian, aku baru saja pergi menghadap Pembina OSIS untuk mengambil beberapa berkas. Sore ini, hujan sedang membasahi sekolah ini. Itu sebabnya meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sekolah masih saja ramai, apalagi banyak juga yang melakukan kegiatan ekskul hari ini. Tiba-tiba mataku tak bisa luput dari seorang laki-laki bertubuh tinggi yang sedang membidik objek dengan kamera SLRnya. Aku tahu siapa dia. Deva. Banyak perubahan yang telah terjadi di dalam diri Deva. Deva semakin tinggi, badannya semakin besar, sikapnya semakin dewasa, juga semakin…tampan. Itu membuatku semakin menyukainya. Tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu hal ganjil yang membuatku sedikit kecewa. Deva sedang mengambil gambar latihan ekskul tari. Aku tahu dia sedang mengambil gambar Ify.

“Deva? Kamu ngapain?”

Deva menoleh dan hanya nyengir.

“Gue lagi moto, hehe…”

“Moto siapa?”

“Moto anak-anak tari,”

“Moto anak-anak tari, atau ANAK tari??” godaku. Sebenarnya aku hanya terpaksa menggodanya untuk menyembunyikan rasa cemburuku. Deva hanya garuk-garuk kepala.

“Yaah, gitu dehh…”

Aku dan Deva jalan bersama menuju ke sebuah kelas kosong, kami duduk bersebelahan. Aku ingin tahu kenyataan yang sebenarnya, aku ingin Deva jujur apakah dia benar menyukai Ify, karena seandainya aku tahu semuanya, aku bisa mengambil jalan yang terbaik buat kami bertiga, yaitu aku mundur.

“Kamu suka kan sama Ify?”

Deva hanya diam, dan akhirnya ia mengakui semuanya.

“Iya, gue suka sama Ify…sejak kelas sepuluh, Cha…” aku Deva.

Jujur aku agak sedikit kecewa ya, tapi mau bagaimana lagi, memang itulah kenyataannya, dan aku harus menerimanya dengan lapang dada.

“Ooh, gitu…kapan mau nembak Ify, Dev?”

“Gue gak tahu, lo tahu kan setiap gue ngomong, pasti dia sangka gue mau ngeledek dia, atau mau ngibul doang…” gumam Deva.

Aku tersenyum masam, aku berusaha menenangnkan diri. Tiba-tiba tanganku bergerak dan menepuk-nepuk punggung Deva.

“Semangat, Dev! Kamu harus berjuang keras, aku selalu dukung kamu,” kataku sambil berusaha untuk tersenyum.

“Thanks, Cha. Lo emang sahabat gue paling baek,” gumam Deva.

Yaaah…kata SAHABAT sudah cukup buatku.


18 Oktober 2008

“HAPPY BIRTHDAY, ACHAA!!!”

Aku langsung terbangun dari tidurku. Mama, Papa, Kak Cakka, Ify, dan Deva sudah berdiri di depan kasurku dengan senyum mengembang. Ify membawa sebuah blackforest berukuran besar dengan lilin berbentuk angka satu dan enam yang berada diatasnya. Yah, hari ini aku genap berusia 16 tahun. Ini adalah kejutan yang benar-benar tak pernah aku pikirkan.

“Acha tiup dulu dong lilinnya!” suruh Ify.

“Ya, ampun Ify, aku lagi acak-acakkan gini, disuruh tiup lilin,” keluhku.

“Pokoknya tiup, harus sekarang!”

Aku tersenyum dan sudah menarik napas pelan-pelan, saat aku baru mau meniupnya tiba-tiba…

“STOP!!”

“Lah? Tadikan aku disuruh tiup lilin kok malah disuruh stop?”

“Make a Wish dulu dong!”

Aku menutup mata dan memohon beberapa permohonan.

‘Tuhan, aku ingin kami, aku, Ify dan Deva akan selalu menjadi sahabat, untuk selamanya…’

Aku membuka mataku dan kemudian meniup lilin.

“Yeaaay…”

“Happy birthday ya, Acha sayaang!” seru Mama.

“Happy birthday anak gadis Papa,” kata Papa.

“Happy birthday, adik gue yang paling cantik!” seru Kak Cakka sambil mengacak-acak rambutku.

“Happy birthday, Acha cantik!” seru Ify.

Dan akhirnya aku mendengar sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seseorang yang paling aku tunggu untuk mengucapkan tiga kata tersebut padaku.

“Happy birthday, Larissa!” seru Deva. Aku tersenyum senang.

Semua orang yang paling aku sayang memberikan kejutan dipagi hari untukku. Terutama satu orang yang paling special buat aku, aku semakin menyukainya, tapi mau tak mau aku harus menekan rasa sukaku itu.

“Cha, nanti sore gue bakal dandanin lo secantik mungkin…kita punya kejutan satu lagi buat lo,” kata Ify.

Aku hanya cengok, kejutan apa lagi yang disiapkan oleh mereka?

Aku benar-benar tak menyangka, sangat tak menyangka.  Semua berawal saat aku di make over oleh Ify. Ify memilih dress berwarna putih untuk kupakai, rambutku di blow dihiasi oleh bando berwarna putih dan juga selop putih, pokoknya serba putih. Kemudian, Ify dan Deva membawaku ke sebuah tempat, ternyata Mama, Papa, Ify, dan Deva membuat pesta ulang tahun di sebuah café yang berada dikawasan Jakarta.

“Ini pesta hanya buat lo, Cha. You are the princess in the party!” seru Ify. Aku langsung memeluk Ify.

“Thanks banget, Fy!” aku terharu.

“Sama-sama, Acha…” kata Ify.

“Aku ke sana dulu ya!” Ify meninggalkanku sendirian.

“Hei, Princess!”

Aku menoleh kebelakang, aku tersenyum. Deva sudah berdiri sambil tersenyum di belakangku. Deva memakai kemeja berwarna putih dan dilapisi oleh jas yang lengannya digulung sampai siku. Membuatnya terlihat sangat menawan, pantas saja semua gadis sesekali meliriknya.

“Do you want to dance with me?” Deva mengulurkan tangannya padaku. Mukaku memerah.

“Yes, I want,” aku menyambut uluran tangannya. Kami berdua berdansa bersama.

“Dev, kenapa kamu gak ngajak Ify aja? Kenapa harus aku?” tanyaku.

“Lo yang jadi princessnya malem ini, Cha. Gue harus memperlakukan lo secara istimewa,” jawab Deva. Aku tersenyum.

Rasa sukaku yang selama ini aku tahan, muncul lagi memenuhi benakku. Aku tak bisa menekan atau menahan perasaanku, aku sangat menyukainya. Aku tak mau waktu ini berakhir.

Hari sudah semakin malam, para tamu undangan sudah mulai meninggalkan café ini, aku pun celingak-celinguk mencari keberadaan Ify dan Deva. Sejak tadi aku tak menemukan mereka.

“Kenapa, Cha?” tanya Kak Cakka yang sedang melihatku kebingungan.

“Aku lagi nyari Ify sama Deva, Kak, kemana ya?” tanyaku.

“Ooh, tadi mereka ke danau, Cha. Coba aja susul mereka,”

Ke danau? Berduaan? Apa jangan-jangan Deva sedang melancarkan aksinya, menyatakan perasaannya pada Ify? Aku rasa iya. Aku berlari menuju danau. Ya, aku melihat mereka berdua sedang berdiri berhadapan di depan danau. Aku memilih untuk bersembunyi dibalik pohon dan mendengar percakapan mereka.

“Gue suka sama lo…”

Kalimat tersebut seakan-akan seperti pisau yang telah menusukku dengan mudah. Aku merasa cemburu, sangat cemburu. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Yah, memang hanya sampai disini perjuanganku.

Kemudian aku mengintip lagi, aku melihat air muka Deva berubah kecewa, dan aku melihat Ify menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian pergi meninggalkan Deva. Deva menunduk dan duduk di depan danau. Aku mencoba untuk melangkahkan kakiku dan duduk disampingnya.

“Lo tadi ngintip ya?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Gue kasian ya, cinta gue bertepuk sebelah tangan, padahal udah gue pertahanin selama setahun,” gumam Deva.

“Jadi, Ify nolak kamu?” Deva mengangguk.

“Padahal gue udah ngeyakinin dia, kalo gue bakal ngelakuin apa aja asal dia nerima gue, tapi dia bilang dia suka orang lain,”

“Siapa?”

“Kakak lo, Cha. Kak Cakka,”

Ternyata Ify menyukai Kak Cakka.

“Sabar ya, aku yakin kamu pasti bakal temuin cewek selain Ify,” kataku.

“Gak bisa kalo bukan Ify, Cha! Gue terlanjur cinta banget sama dia! Masa SMA gue yang harusnya bikin gue seneng, malah jadi buruk kayak gini,” serunya.

“Dev, apa gak ada yang bisa ngegantiin Ify di hati kamu?”

“Hah?”

“Apa gak ada yang bisa ngegantiin Ify di hati kamu, tak terkecuali aku?” kata-kata itu terlontar begitu saja.

“Maksud lo, Cha?”

“Aku suka sama kamu, Dev…” kata-kata keramat itu tiba-tiba terlontar langsung dari bibirku. Tak bisa kutahan.

Aku melihat Deva menunduk.

“Maaf, Cha. Gak bisa… lebih baik lo berhenti ngejar gue, dan cari cowok lain,” gumam Deva.

Aku tak bisa menahan tangisanku, aku berdiri dan berlari meninggalkan Deva sendirian. Saat memasuki café aku bertemu dengan Kak Cakka.

“Cha, lo kenapa?” tanya Kak Cakka dengan nada khawatir. Aku langsung berlari memeluk kakakku itu. Kak Cakka memelukku dan aku menangis di pelukannya.


Yang seharusnya aku merasa sangat bahagia di malam ini, dihari ulang tahunku, tiba-tiba semuanya hancur begitu saja, apakah hubungan persahabatanku dengan mereka berdua akan hancur dengan mudahnya hanya karena masalah cinta?

10 Desember 2008

Sudah hampir dua bulan aku dan Deva tak bertatap muka, begitupun Ify. Ify tak mau bertemu dengan Deva. Untung saja aku tak lagi sekelas dengan Deva, aku ada di XI IPA 1, Deva di XI IPA 4, sedangkan Ify ada di XI IPS 1.

Saat ini aku sedang mencari buku novel karangan Agatha Christie di sebuah rak buku. Akhirnya aku menemukannya di rak atas, sayangnya aku tak bisa menggapainya karena terlalu tinggi, aku terus mencobanya.

“Mau gue bantu?”

Seseorang yang berada dibelakangku menawarkan bantuan. Aku tak bisa menengok kebelakang karena masih berusaha untuk mengambilnya.

“Iya, tolong…” gumamku.

Orang itu mengambil dengan mudahnya. Aku menoleh ke belakang dan tersenyum.

“Maka…”

Kalimatku terhenti, ternyata yang menolongku adalah Deva. Deva tersenyum dan memberikan buku yang kucari. Aku menunduk.

“Makasih, Dev…”

“Sa…sama-sama, Cha…”

Sejak tidak berkomunikasi selama sebulan, hubunganku dengan Deva menjadi agak canggung.

“Dev, aku…duluan…” aku berjalan meninggalkan Deva, tapi tiba-tiba lenganku ditarik olehnya.

“Tunggu, Cha!”

“Kenapa?”

“Gue pengen ngomong sama lo…”

Aku dan Deva mengobrol berdua di taman. Aku masih tak berani menatap Deva, aku masih mengingat adegan saat aku menyatakan perasaanku pada Deva, semuanya terulang bagaikan sebuah film. Sesekali aku melirik Deva, sudah berapa lama aku tidak melihatnya? Dia semakin tinggi, badannya semakin kekar, semakin keren. Aku seperti tidak pernah melihatnya beberapa tahun. Tapi memang harus kuakui, pertumbuhan laki-laki sangat cepat dibandingkan perempuan.

“Cha, kita udah jarang kayak gini lagi ya…” gumam Deva.

“Dulu kita, aku, kamu, sama Ify sering banget ke taman ini buat ngerjain PR bareng, duduk-duduk santai, apapun kita lakuin disini,”

“Kita udah punya kesibukan masing-masing dan udah punya temen yang lain, dan kayaknya juga Ify berusaha menjauh dari gue,”

Aku hanya diam dan menatap keatas langit.

“Cha, maaf…”

“Maaf kenapa?”

“Waktu itu gue gak nerima lo, karena gue suka sama Ify, gue gak mikirin perasaan lo saat itu, pasti lo sakit hati banget gara-gara gue, gue emang cowok yang jahat, Cha. Gue gak pantes buat lo,” kata Deva sambil menatapku dalam-dalam. Aku tersenyum dan menggeleng.

“Kamu gak salah kok, justru aku salut sama kamu, kamu sampai sekarang tetep memperjuangkan rasa cinta kamu buat Ify, gak kayak aku, begitu aku ditolak sama kamu, dulu aku merasa sangat putus asa dan aku pikir aku salah suka sama kamu, tapi aku pikir lagi, kalo kita udah siap jatuh cinta, pasti harus siap sakit hati, menerima apapun resikonya walaupun itu menyakitkan, dan akhirnya aku bisa menerima kenyataan kalo cintaku bertepuk sebelah tangan,” tuturku. Aku melihat Deva tersenyum.

“Kata-kata lo hebat banget, Cha…gue yakin lo bakal dapet cowok yang lebih daripada gue,” kata Deva sambil mengacak-acak rambutku.

“Aduuh, Deva! Berantakan nih!” keluhku.

Ternyata kami masih bisa tertawa bersama-sama. Aku rindu saat-saat seperti ini, seandainya Ify ada disini pasti aku akan merasa lebih senang.

12 Desember 2008

Aku mencari Ify di kelasnya, aku melihat Ify sedang duduk termenung di bangkunya.

“Ify…” panggilku.

“Acha?” Aku tersenyum dan duduk disamping Ify.

“Aku mau ngomong sama kamu, aku mau kita ngomong ditaman,” kataku.

Ify mengikutiku di belakang.

“Acha, kita mau ngomong apaan sih? Kok harus ditaman? Dikelas gue kan bisa…”

Aku melihat raut wajah Ify berubah begitu melihat Deva duduk di bangku taman menungguku dan Ify.

“Cha, lo ajak Deva?”

Aku menarik Ify kehadapan Deva, Deva pun bangkit dari tempat duduknya.

“Sebenernya, Deva yang mau ngomong sama kamu, Fy…” aku mundur kebelakang.

“Fy, lo marah sama gue?” tanya Deva.

Ify tak menjawab pertanyaan Deva dan memalingkan muka.

“Gue tahu lo gak suka sama gue, lo suka sama Kak Cakka, tapi lo tahu sendiri, sekarang Kak Cakka udah punya pacar, Fy…apa lo masih mau pertahanin cinta lo itu yang bertepuk sebelah tangan? Itu cuma bakal nyakitin lo doang, Fy…”

“Terus apa masalah lo? Itu masalah gue, lo gak berhak ikut campur urusan pribadi gue, Dev meskipun lo itu sahabat gue, dan sekarang gue mau tanya balik sama lo, kenapa lo juga masih pertahanin cinta lo ke gue yang bertepuk sebelah tangan itu?” tanya Ify.

Deva tak bisa menjawab, dia hanya menunduk. Aku yang melihat konflik diantara mereka berdua hanya bisa terdiam.

“Sekarang gue mau lo gak usah ngejar-ngejar gue lagi, lebih baik cari cewek lain yang lebih baik daripada gue, contohnya Acha, gue tahu dia suka sama lo, lebih baik lo pertahanin orang yang bener-bener sayang sama lo,”

Aku langsung menarik tangan Ify.

“Fy, kamu gak ngerasa bersalah sama Deva? Deva terus ngejar-ngejar kamu, terus pertahanin rasa sukanya ke kamu, tapi kenapa kamu malah gak mau nerima dia?” tanyaku.

“Cha, lo gak ngerti perasaan gue, justru gue malah ngerasa bersalah ngebiarinin Deva tetep ngejar-ngejar gue yang jelas-jelas gue udah jahat sama dia, lo sendiri, saat lo nembak Deva, Deva juga nyuruh lo buat berhenti ngejar-ngejar dia kan? Sama kayak gue! Gue gak mau bikin dia bikin sakit hati!” seru Ify.

Aku terdiam.

“Gue butuh waktu buat berpikir, ah maksud gue kita bertiga butuh waktu buat berpikir secara dewasa, tapi itu bukan berarti gue memutuskan hubungan persahabatan dengan lo berdua, hanya saja persahabatan kita agak merenggang,” Ify beranjak pergi dari hadapanku dan Deva, aku melihat Deva dengan raut wajah yang sangat kecewa.

“Dev…” panggilku.

“Sekarang malah tambah rumit lagi, Cha…” gumam Deva lemas.

“Deva…maaf…”

“Cha, mendingan kita bertiga jaga jarak dulu, gue, lo, dan Ify butuh waktu buat berpikir, kalo kita udah siap buat bicara, baru kita bertiga bisa kumpul lagi,kembali seperti dulu,” suruh Deva.

Aku pergi meninggalkan Deva sendirian di taman. Masalah semakin tambah rumit, kami semakin menjauh. Mungkin memang benar yang dikatakan Ify dan Deva. Kami bertiga butuh waktu untuk berpikir dewasa, tidak memikirkan keegoisan sendiri. Seandainya kami memang sudah siap untuk bertemu, kami pasti bisa bersahabat seperti dulu lagi, melupakan rasa ego kami karena rasa cinta.


11 Agustus 2009

Kami memutuskan untuk menjaga jarak beberapa bulan yang lalu, jadinya selama masa-masa kelas XI yang bisa disebut masa yang paling menyenangkan dalam SMA (menurut penulis) harus aku lewati tanpa kedua sahabatku itu.

Tak terasa kami semua telah menjadi kelas XII tahun terakhir di SMA, aku jadi semakin galau. Sampai sekarang kami belum siap untuk bicara, padahal masa SMA kami tak sampai setahun akan berakhir. Asal kalian tahu, di kelas XII ini, aku sekelas dengan Deva lagi, tapi kami tetap tak mau bicara satu sama lain, Deva lebih memilih untuk menjauhiku. Saat mata kami bertemu, kami hanya senyum saja, begitupun dengan Ify. Aku hanya bisa menghela napas.

“Acha, gue heran sama lo, dulu kan lo sama Deva deket banget, sama Ify juga, tapi sekarang kalian malah kayak gini…” gumam Nova.

“Aku gak tahu, Nov. Hubungan kami tiba-tiba jadi kayak gitu gara-gara…cinta,” gumam Acha.

“Wah, ternyata cinta bisa juga merusak persahabatan ya, lo cerita dong sama gue!” seru Nova.

Aku menceritakan semuanya pada Nova, dari pertama saat kami mulai bersahabat dan aku menyukai Deva, sampai saat konflik datang di dalam persahabatan kami akibat cinta. Saat menceritakannya bahkan mengingatnya hatiku semakin sakit, air mataku saja hampir keluar.

“Aku capek, Nov kayak gini terus. Aku kangen sama mereka, aku mau kumpul lagi sama mereka, apa artinya persahabatan kalo kayak gini aja, kami bertiga udah pecah, kayak gelas jatuh ke lantai dengan mudahnya,” seruku sambil menahan tangis.

“Emang gak mudah, Cha. Ngadepin persoalan lo sekarang,” kata Nova.

Aku mengusap air mataku dengan tissue, aku mencoba untuk mengatur napasku yang mulai tak teratur.

“Ada satu hal yang mau gue tanyain,”  gumam Nova.

Aku mengerutkan kening.

“Apa?”

“Lo udah siap buat bicara lagi sama mereka?”

“Aku gak tahu Nov,”

“Kalo misalnya diantara kalian bertiga gak ada yang siap buat ngomong, sampai kapanpun hubungan persahabatan kalian gak akan kayak dulu lagi, tak ada FINISH jika tak ada START, kalo gak ada yang memulai buat siap untuk ngomong, masalah kalian bertiga gak akan selesai,” tutur Nova.

Tak ada FINISH jika tak ada START. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di otakku. Memang benar, kalo tak ada yang memulai untuk bicara, masalah tak akan selesai.

“Kalo mereka masih gak mau memulainya, kenapa gak lo aja yang mulai?” tanya Nova.

“Aku?”

Nova mengangguk.

“Kalo bukan lo, siapa lagi? Mau nunggu mereka sampe lebaran monyet? Gak bakal mungkin…”

“Kenapa harus aku? Kenapa gak mereka?”

“Karena gue sendiri yakin, kalo hanya lo yang bisa meluruskan masalah kalian bertiga…” kata Nova dengan penuh keyakinan.

“Tapi…gak bisa sekarang, aku masih butuh waktu, Nov…”

“Siapa yang bilang gue nyuruh lo sekarang juga? Itu tergantung lo sendiri, Cha,” kata Nova sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya.

“Makasih, Nov. Gak salah aku cerita sama kamu,”

“Hehe, kalo ada apa-apa cerita aja ya, Cha…”


Sepertinya aku yang harus memulainya, yah…aku yang bakal memulainya, tapi mungkin aku masih butuh waktu, dan aku harus mencari waktu yang tepat untuk memulainya.


21 November 2009

Hari Sabtu adalah pelajaran tambahan untuk anak kelas XII, kami boleh memakai pakaian bebas saat pelajaran tambahan tersebut. Karena insomniaku kambuh, akhirnya aku berangkat terlalu pagi. Aku duduk dibangku dekat jendela, untuk menunggu teman-teman yang lain datang aku hanya menatap kearah jendela dengan tatapan kosong. Kemudian terdengar suara langkah kaki masuk kedalam kelasku, aku menoleh kearah pintu. Ternyata Deva yang datang. Aku hanya menghela napas. Aku yakin Deva hanya tersenyum kearahku dan duduk begitu saja, tak ada perkataan yang terlontar dari mulutnya. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke jendela.

“Acha…”

Aku terbelalak kaget, Deva memanggil namaku. Aku menoleh kearah Deva. Deva sudah berada di depan mejaku.

“Gue boleh duduk disamping lo?” tanyanya. Aku mengangguk.

Dia duduk di sampingku, sudah beberapa menit kami diam seperti ini, tak ada yang mau memulai pembicaraan. Aku menghela napas. Tiba-tiba mulutku bergumam,

“Tak ada FINISH jika tak ada START,”

Deva menoleh kearahku.

“Tak ada yang namanya selesai, jika tak ada yang memulai,”

Aku rasa Deva semakin tak mengerti dengan kata-kataku.

“Maksud lo, Cha?”

“Kalo seandainya gak ada yang memulai, gak bakal terjadi pembicaraan, kan?”

Deva masih terdiam.

“Begitu juga kita bertiga Dev, kalo satu diantara kita gak ada yang mau memulai, sampai kapanpun kita seperti ini, gak kayak dulu,”

“Yah, lo bener, Cha. Cha, gue malu sama diri gue sendiri, gue cowok tapi sampe sekarang gue masih gak punya keberanian buat nyelesein masalah kita bertiga,” gumam Deva.

Aku tersenyum dan kemudian menepuk punggung Deva.

“Kamu gak perlu kayak gitu, Dev. Secepatnya aku pengen nyelesein masalah ini, supaya persahabatan kita balik lagi,”

“Iya, gue juga, Cha. Gue kangen sama lo dan Ify, gue pengen ngabisin waktu bareng bertiga, dan gue pengen memperbaiki hubungan gue sama Ify, gue memutuskan buat mundur, gak akan ngejar-ngejar Ify lagi, biar Ify yang memilih sendiri cowok yang cocok buat dia,”

“Akhirnya lo udah bersikap dewasa, Dev…”

“Sejak gue gak ngejar-ngejar Ify perasaan gue sekarang tertuju pada cewek laen, haha mudah banget ya gue ngelupain Ify.” tutur Deva.

Aku terdiam, awalnya aku masih merasa cemburu, tapi kemudian aku tersenyum, aku lupa, aku kan sudah bertekad untuk mundur.

“Wah, selamat ya, aku harap cintamu gak bertepuk sebelah tangan lagi. Aku yakin dia adalah cewek yang cocok buat kamu, Dev! Oiya, berarti rasa cinta kamu ke Ify bisa dibilang hanya obsesi aja, bukan rasa cinta yang sebenarnya, mudah-mudahan perasaan kamu ke cewek itu bukanlah sebuah obsesi,” seruku. Deva hanya tersenyum masam.

“I hope so. Makasih, Cha,”

Aku melihat mata Deva memancarkan rasa kecewa. Ingin kutanya tapi itu adalah privasi. Aku gak perlu tahu.

“Dev, kayaknya aku udah tahu waktu yang tepat buat kumpul bertiga,”


27 April 2010

Setelah beberapa bulan kami harus dipaksa untuk belajar rutin akibat Ujian Nasional, Ujian Sekolah, dan Ujian Praktek. Akhirnya kami dinyatakan lulus seratus persen oleh sekolah. Kami merayakan kelulusan kami dengan acara Prom Night yang diadakan oleh OSIS. Semua anak perempuan terlihat sangat cantik dengan gaun malamnya, sedangkan anak laki-laki terlihat sangan tampan dengan kemeja dan blazernya.

Aku melihat Ify dengan gaun putihnya yang membuatnya semakin cantik. Begitupun Deva, dengan kemeja biru dan blazer hitamnya membuat dirinya terlihat sangat menawan.

Aku menghela napas panjang, ini saat yang paling tepat untuk mengembalikan persahabatan kami yang pernah retak. Aku pergi menuju panggung dan berdiri diatasnya dengan hati yang mantap. Aku dipilih untuk menjadi wakil dari kelas XII yang lulus untuk memberikan sambutan.

“Selamat malam semuanya, saya Larissa Safanah Arif dari kelas XII IPA 2, saya akan memberikan dua patah kata karena saya dipilih untuk mewakili kelas XII,”

Aku menghela napas.

“Yah, seperti yang telah kita ketahui kami anak kelas XII sudah menghabiskan masa-masa SMA di SMA Pusaka Bangsa, SMA terfavorit di kawasan Jakarta. Saya, Larissa Safanah Arif sangat bersyukur bisa masuk ke SMA ini, karena jika saya tidak masuk sini, saya tidak akan…” suaraku terdengar parau, emosiku meluap, aku tak bisa menahan tangisanku.

“Saya tidak akan bertemu dengan dua orang yang telah menjadi bagian dari hidup saya, dua sahabat saya…Deva dan Ify, tanpa mereka rasanya hidup saya jadi tak punya arah, tak lagi yang bisa mendukung saya dalam memilih suatu pilihan, itu semua saya rasakan saat perasaan kami semua berubah, persahabatan kami pun merenggang atau bisa dibilang retak karena rasa yang memang tidak bisa manusia hindari, yaitu cinta. Persahabatan kamipun retak.”

Tangisanku tak tertahankan, aku menangis.

“Ify, Deva aku kangen kumpul sama kalian bertiga, aku pengen kita kayak dulu lagi, menghabiskan waktu bertiga, aku gak mau masa SMAku ini jadi sia-sia kalo kita masih kayak gini, Ify…Deva…aku kangen sama kalian…”

Seorang anak OSIS menghampiriku dan berusaha menenangiku. Aku berusaha untuk kuat, dan meneruskan pidatoku.

“Baiklah, film dokumenter ini, aku buat sendiri dan aku apresiasikan buat dua sahabat terbaikku, Deva dan Ify,”

Aku turun kebawah panggung dan menontonnya sendirian.

Sebuah film dokumenter yang kuberi judul, Sepenggal Kisah Manis di Masa Putih Abu-Abu membuat para penonton terhanyut. Film itu berisi foto-foto dan video kami bertiga, foto saat kami mengerjakan PR bertiga di sekolah, foto saat kami makan di kantin, foto kami dengan wajah jelek, juga video saat kami pergi ke Dufan bertiga. Itu adalah saat-saat terindah dengan mereka berdua. Kadang tertawa, kadang tersenyum, tapi kadang aku juga meneteskan air mataku saat melihat momen-momen yang mengharukan.

Setelah film tersebut selesai, aku kembali menuju panggung diiringi oleh tepukan meriah para murid.

“Terima kasih atas respon kalian, sampai sekarang aku masih berharap bahwa hari ini kami akan berkumpul lagi seperti dulu, Larissa Safanah Arif, Alyssa Saufika Umari, Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra are friends forever, forever and always be,”

Riuh tepuk tangan menggema di gedung tempat Prom Night sekolahku, aku turun dari panggung dan berjalan menuju gazebo yang berada diluar gedung. Aku merasakan angin malam yang semakin menusuk tulang.

“Acha…”

Aku mendengar suara parau yang memanggil namaku, aku menoleh kebelakang, dan mendapati Ify sedang berdiri di belakangku.

“Ify,”

“Maafin aku, Cha…baru sekarang gue bisa ngomong sama lo lagi…maaf kalo selama ini gue egois, gak mikirin perasaan lo, padahal ini semua masalah antara gue dan Deva, tapi lo jadi ikut terlibat dan jadi pelampiasan gue, maaf…seandainya kalo lo gak mulai, mungkin sekarang gue gak bisa pelukan gini sama lo,”

“Kenapa harus minta maaf, Fy…seharusnya aku yang minta maaf, aku udah maksa kamu buat nerima Deva, semua karena aku gak mau ngeliat Deva hancur gara-gara ditolak kamu, Fy…”

Aku melepas pelukanku, aku melihat mata Ify sembap, aku tertawa dan menghapus air mata Ify.

“Fy, senyum dong! Kamu cantik kalo tersenyum,” kataku. Ify tersenyum.

“Makasih, Cha…”

“Ehm, sepertinya cuma gue yang belom ngomong satu kata pun sama Ify,”

Kami menoleh, Deva sudah berdiri di belakang kami sambil tersenyum. Ify melangkah kakinya menuju Deva.

“Dev, maafin gue, gue udah bersikap kasar sama lo, gue udah marah-marah sama lo,” tutur Ify.

“Gak papa, Fy. Gue juga minta maaf udah maksa lo buat nerima gue, sekarang gue udah mundur dan berhenti ngejar-ngejar lo,”

“Hehe, makasih Dev, udah ngertiin gue, oiya sekarang gue udah gak suka lagi sama Kak Cakka, sekarang gue lagi suka sama anak kelas sebelah, hihi…”

“Siapa, Fy?” tanyaku.

“Ray, hehe anak XII IPS 2, ganteng deh,” seru Ify cengengesan.

“Pantesan daridulu gue liat lo deket amat sama Ray, gue jealous lho!” kata Deva.

“Katanya lo udah gak suka sama gue, udah berhenti ngejar gue!”

“Jealous karena gue gak bisa nyubitin pipi lo lagii!! Gue jealous begitu ngeliat Ray nyubitin pipi lo!” Seru Deva sambil mencubit pipi Ify.

“Aduuh! Devaaa!! Sakiiit!!!” ringis Ify. Aku tertawa melihat kelakuan mereka.

Aku mengerutkan kening begitu mereka berdua saling berbisik satu sama lain, tuh kan aku dilupain.

“Sepertinya Deva udah nemuin cewek yang paling cocok dan lebih baik daripada aku deh,” gumam Ify.

“Iya, Deva kan udah ngomong sama aku Fy, kalo dia lagi suka sama cewek lain, yah, aku harap perasaan mereka bersambut,” kataku.

“So Do I,” kata Ify sambil tersenyum. Deva hanya siul-siul saja.

“Dan gue tahu siapa cewek yang cocok itu,” kata Ify.

“Siapa, Fy? Kamu tahu? Deva, kamu kok gak ngasih tau aku??” keluhku.

Ify tersenyum senang, tiba-tiba tanganku ditarik dan ditempelkan dengan tangan Deva, mataku terbelalak, aku melihat Deva hanya tersenyum dan kemudian menggenggam tanganku. Sukses membuat pipiku memerah.

“Cewek itu lo, Cha. Hanya Larissa Safanah Arif yang cocok buat Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra,” tutur Ify.

“Kok aku? Deva kan gak suka sama aku!” kataku.

Ify dan Deva hanya tertawa melihat kelakuanku.

“Dev, bilang!” seru Ify.

Aku menatap mata Deva, Deva juga menatap mataku.

“Gue suka sama lo, ah mungkin bukan suka, tapi gue cinta sama lo, Larissa…”

Mukaku memerah.

“Dev, bukannya waktu itu kamu terang-terangan nolak aku pas ultahku yang keenam belas? Kamu mau boongin aku ya?” tanyaku tak percaya.

“Haha, lo lucu banget sih Cha, itu dulu, ini sekarang. Sekarang perasaan gue berubah, tau gak sejak kita jaga jarak, gue ngerasa biasa aja sama Ify. Tapi lo beda, Cha. Gue merasa hampa saat gue jauh dari lo, dan gue sadar yang bener-bener gue cinta itu lo…dan gue harap lo gak mengartikan perasaan gue ini sebagai sebuah obsesi, tapi melainkan perasaan cinta yang tulus buat lo,” tutur Deva.

Jantungku berdebar-debar, ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan.

“Maukah kamu menerima laki-laki seganteng aku, Cha?”

Aku tertawa.

“Ya, ampun Devaaa!! Saat-saat begini lo masih aja ngelawak Dev!” keluh Ify.

“Daripada garing!” seru Deva.

“Gimana, Cha?” tanya Deva.

Aku tersenyum dan mengangguk.

“Aku mau…nerima laki-laki seganteng kamu, Dev!” kataku sambil nyengir.

“Makasih, Cha..” Deva memelukku dengan lembut. Akupun membalas pelukannya.

“Ecieee…jadian nih yee…PJ laah sikiit!!” seru Ify.

“Nih, makan nih sepatu gue!” seru Deva.

“Yeuh, jelek lu!”

Kami bertiga kemudian tertawa berbarengan dan saling berangkulan bertiga.

“Kita tetep sahabat kan bertiga?” tanya Ify.

“Yah, sampai kapanpun kita akan jadi sahabat, seperti yang tadi aku bilang, Larissa Safanah Arif, Alyssa Saufika Umari, dan Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra are friends forever, forever and always be…” kataku sambil tersenyum kearah Ify.

“Eh, tunggu. Cha, bukannya kita pacaran? Kok malah dibilang sahabat doang, sih Cha?” tanya Deva heran.

“Kita sahabat, Dev. Bener-bener sahabat, sahabat dalam menjalankan kisah cinta kita berdua…” tuturku.

“Acha, jangan ngomong kayak gitu, sumpah demi apapun, gue speechless!” seru Deva.

“Ahahaha, Deva salting!” seru Ify. Aku tertawa.

Rasa senang, bahagia, sedih, dan sakit hati telah aku rasakan di masa putih abu-abu ini. Tak hanya rasa-rasa tersebut yang aku rasakan, masih banyak rasa-rasa lain yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata yang telah aku rasakan, tapi hanya dua rasa yang benar-benar aku syukuri karena telah merasakan kedua rasa tersebut. Rasa SAYANG dan rasa CINTA. Rasa sayang dan cintaku untuk Ify sebagai sahabat, dan rasa sayang dan cintaku untuk Deva sebagai seorang kekasih. They are the best things that I’ve ever met. Sebuah hadiah terindah untukku dalam menghabiskan masa-masa SMA bahkan masa-masa hidupku. Jika kalian –Ify dan Deva- diibaratkan sebagai sebuah lagu, kalian adalah lagu favoritku. You’re my favorite song. Sepenggal kisah manis ini bisa aku ceritakan pada keturunanku, dan aku akan mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Jika sudah tiba waktunya mereka akan merasakan kisah manis yang indah seperti yang aku rasakan, sepenggal kisah manis di masa putih abu-abu…




Tidak ada komentar:

Posting Komentar